JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada Kamis (19/10/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 115/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Olefin’s Hamonangan. Sidang digelar secara luring dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Agenda sidang yaitu pemeriksaan perbaikan permohonan. Dalam persidangan, Leonardo yang diwakili oleh Hosnika Purba selaku kuasa Pemohon, menyampaikan perbaikan surat kuasa mengenai nama Pemohon. Sebelumnya, nama Pemohon tertulis “Leonardo Siahaan”. Kemudian pada perbaikan permohonan ini berubah menjadi “Leonardo Olefin’s Hamonangan” sesuai dengan nama yang tercantum dalam KTP.
Hosnika juga menyampaikan perbaikan pada sistematika kewenangan MK, kedudukan hukum Pemohon (legal standing). “Terdapat perbaikan dengan menambahkan bukti KTP, NPWP yang menunjukkan Pemohon sebagai subjek pajak.
Selanjutnya, Hosnika menyampaikan perubahan pasal yang dimohinkan pengujian. “Sebelumnya objek perkara itu Pasal 1 angka 18 dan Pasal 32 KUHAP. Ada yang kami hilangkan dalam Pasal 1 angka 18 itu mengenai definisi makna. Definisi tersebut dirubah menjadi Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3,” terang Hosnika.
Baca juga:
Khawatir HP Digeledah Paksa Polisi, KUHAP Diuji
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 115/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Olefin’s Hamonangan. Pemohon menguji Pasal 5 Ayat 1 huruf a Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 dan Pasal 30 (4) UUD 1945.
Pemohon merasa mengalami kerugian konstitusional potensial akibat berlakunya Pasal 5 (1) Huruf a Nomor 3 KUHAP yaitu: menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Kemudian berlakunya Pasal 32 KUHAP, “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Pemohon khawatir penerapan Pasal 5 ayat (1) Huruf a angka 3 dan Pasal 32 KUHAP akan semakin maraknya polisi yang berlindung mempergunakan haknya dan kewenangannya memeriksa handphone (HP) pengendara atau seseorang dicurigai. Padahal dalam prosedurnya, harus mendapat surat izin perintah penggeledahah dari penyidik atau tertangkap tangan atau dari pengadilan setempat.
Pemohon mengilustrasikan aktivitasnya yang sering keluar malam dalam rangka pulang bekerja. Pemohon merupakan karyawan swasta di suatu perusahaan di wilayah Jakarta Timur. Pemohon kerap kali pulang malam karena lembur kerja. Kemudian Pemohon potensial diberhentikan aparat kepolisian yang kemudian melakukan pemeriksaan motor dan HP Pemohon dengan alasan Pemohon dicurigai oleh Polisi. Sementara tidak semua aparat kepolisian mengetahui prosedur hukum, sehingga dikhawatirkan akan ada bentuk kesewenang-wenangan kepolisian menggunakan kuasanya memeriksa HP.
Hal tersebut pernah terjadi di wilayah Jakarta Timur yang dilakukan Polisi Aipda Ambarita kepada warga. Beredar video viral di media sosial memperlihatkan aksi seorang anggota kepolisian, Aipda Ambarita, menggeledah paksa HP seorang pemuda. Aipda Ambarita mendapat banyak kritik karena menggeledah tanpa surat perintah atau tertangkap tangan.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan Pasal 5 ayat (1) Huruf a angka 3 KUHAP tidak mempunyai hukum mengikat menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, sepanjang dimaknai dalam hal pemeriksaan handphone atau sejenisnya merupakan bukan bagian dari identitas diri dan pemeriksaan handphone atau sejenisnya sah menurut hukum sepanjang ditemukannya barang bukti kejahatan.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.