JAKARTA, HUMAS MKRI – Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) tidak memberi tempat bagi penggunaan Ketetapan MPR/S dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dalam pembentukan UU maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini disampaikan oleh Fitra Arsil yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam sidang ketujuh uji materiil Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Rabu (18/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengikuti logika pengaturan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, memang Ketetapan MPR/S diberikan kedudukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan dan diberikan status keberlakuan meskipun menyimpan kontroversi seperti yang disampaikan di atas, namun ketika UU 12 Tahun 2011 sama sekali tidak memberikan pedoman mengenai penegakkan dari materi-materi dalam Ketetapan MPR/S, bahkan, bukan saja tanpa pedoman penegakkannya, UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak memberi tempat bagi penggunaan Ketetapan MPR/S dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dalam pembentukan UU maupun peraturan perundang-undangan lainnya,” urai Fitra yang dihadirkan oleh Partai Bulan Bintang sebagai Pemohon.
Fitra menjelaskan dalam Lampiran II dari UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, TAP MPR sama sekali tidak disebutkan sebagai dasar hukum yang bisa digunakan dalam pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Artinya, lanjutnya, secara formil memang Ketetapan MPR tidak dijadikan landasan bagi pembentukan UU dan peraturan perundang- undangan lainnya atau tidak digunakan sebagai konsiderans "mengingat".
Selain itu, Fitra mengungkapkan akibat tidak ada pengaturan mengenai penggunaan ketetapan MPR dalam pembentukan UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, muncul fenomena selama kurun 62 tahun—yaitu Tahun 1961 hingga Tahun 2023—terdapat 228 undang-undang yang menempatkan Tap MPR/S dalam dasar "Mengingat". Terdapat 54 Ketetapan MPR/S yang digunakan sebagai dasar hukum "mengingat" oleh undang-undang. Ia menguraikan terdapat kesenjangan penggunaan Ketetapan MPR sebagai dasar hukum ‘mengingat’ oleh UU sejak diterbitkannya TAP 1/MPR/2003 dan UU 10 Tahun 2004 serta UU P3. Sejak itu, lanjutnya, tidak ada lagi UU yang menempatkan Ketetapan MPR sebagai dasar hukum ‘mengingat’.
“Sejak diterbitkannya UU Nomor 12 Tahun 2011 pernah hanya 2 (dua) UU yang menempatkan Ketetapan MPR sebagai dasar hukum yaitu pada tahun 2014. Sejak tahun 2014 hingga tahun 2023, tidak ada lagi Ketetapan MPR yang digunakan sebagai dasar hukum dalam pembentukan undang-undang. Ketetapan MPR di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tampak terjadi komplikasi hukum yang cukup serius yang berakibat Ketetapan MPR bukan saja menjadi tidak jelas keberlakuannya namun juga menjadi mandul tidak bisa ditegakkan dan digunakan dalam keidupan kenegaraan di Republik Indonesia,” tandasnya.
Status Kelembagaan MPR
Pada kesempatan yang sama, Margarito Kamis selaku ahli Hukum Tata Negara yang dihadirkan juga oleh Pemohon menyampaikan mengesampingkan status MPR sebagai lembaga tertinggi negara setelah perubahan UUD 1945 adalah logis. Tetapi jika mendiskualifikasi kewenangan MPR membentuk Ketetapan MPR merupakan hal yang tidak logis. “Mengapa? Pertama, tak satu pun norma UUD 1945 sebelum diubah yang tegas dan terang ‘mengkualifikasi’ status hukum MPR’ sebagai lembaga tertinggi negara,” tegasnya.
Lebih lanjut ia menerangkan status lembaga tertinggi negara merupakan hasil interpretasi struktural antarpasal dalam UUD sebelum Perubahan yang mengambil Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebagai dasarnya. Kecuali, sambungnya, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan "Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR". Menurutnya, status MPR sebagai "lembaga tertinggi" biarkan saja menjadi diskursus akademis. Sebab, soal lembaga tertinggi ini tidak disebut secara tegas dalam UUD 1945 sebelum diubah.
“Bagi saya, status lembaga tertinggi yang disematkan kepada MPR merupakan hasil interpretasi struktural terhada pasal 1 ayat (2) dengan pasal-pasal yang saling terhubung secara fungsional sebelum UUD 1945 diubah. Gagasan inilah yang dipositifisasi ke dalam Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Keria Lembaga Antara Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Pasal 1 ayat (1) Ketetapan ini mengatur "Yang dimaksud dengan Lembaga Teritinggi Negara dalam Ketetapan ini ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disebut Majelis." Ketetapan ini menjadi sebab MPR menyandang status hukum sebagai lembaga tertinggi negara,” tegasnya.
Baca juga:
Yusril Ihza Mahendra Perbaiki Permohonan Uji Aturan Pembatasan Kewenangan MPR
Menguji Konstitusionalitas Kewenangan MPR
MPR Sebut Ada Kewenangan yang Belum Diatur dalam Bentuk Produk Hukum
Sejumlah Ahli dan Saksi Sejarah Hadir Terkait Uji Aturan Kewenangan MPR
Sebelumnya, permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 66/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Umum dan Afriansyah Noor sebagai Sekretaris Jenderal.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan dengan dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR di dalam UUD 1945 serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan yang fundamental dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan “lembaga tertinggi negara” dan sekaligus sebagai penjelmaan “seluruh rakyat Indonesia”.
Pemohon mendalilkan keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia setidaknya telah 3 (tiga) kali menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika negara ini mengalami krisis konstitusional. Pertama, MPRS telah membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya faham Marxisme dan Leninisme setelah terjadinya pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 3 Maret 1966. Kedua, MPRS menerbitkan Penetapan yang bersifat beshickking untuk menetapkan Pengembang Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967. Ketiga, MPR telah membuat Ketetapan tentang pertanggungjawaban Presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional. Keempat, MPR telah membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan. Ketetapan ini dijadikan dasar untuk berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden BJ Habibie di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung, ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter tahun 1998. Ketetapan ini membuat berhentinya Presiden Suharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitutional. Untuk itu, Sehingga dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.