JAKARTA, HUMAS MKRI – Teguh Satya Bhakti selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana mengajukan pengujian Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 89 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan oleh Majelis Sidang Panel yakni Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P. Foekh pada Rabu (18/10/2023).
Pasal 70 ayat (3) UU PT menyatakan, “Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal 89 ayat (1) huruf b UU PT menyatakan, “Dana pendidikan tinggi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dialokasikan untuk: .. b. PTS, sebagai bantuan tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan.”
Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) tidak membedakan kewajiban dari dosen perguruan tinggi negeri dan swasta. Dengan adanya pembebanan kewajiban yang sama dan setara ini, negara seharusnya memenuhi hak bagi dosen maupun tenaga kependidikan pada PTN ataupun PTS sebagaimana mestinya. Namun pada praktiknya, pemberian gaji pokok dan tunjangan kepada dosen serta tenaga kependidikan pada PTS diliberalisasikan dan mutlak hanya menjadi otoritas badan penyelenggara tanpa diatur negara dan bahkan memberikan intervensi berupa dana pendidikan tinggi yang disubsidi oleh pemerintah kepada PTS. Pemohon menilai pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (4) UUD 1945 karena adanya ketidakkonsistenan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi yang telah menentkan kewajiban negara dalam bidang pendidikan melalui pengusahaan dan penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional.
“Pembiayaan pendidikan kewajiban negara sebab hal ini berkaitan dengan hak warga negara, sehingga negara tidak sebatas wajib menghormati dan melindungi. Sekalipun PTS didirikan oleh masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum berbentuk yayasan, perkumpulan, namun kewajiban pemerintah harus turut serta dan memenuhi sumber daya pendidikan bagi PTS bukan berarti tidak ada,” sampai Teguh.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 70 ayat (3) UU Dikti sepanjang frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Yang dananya bersumber dari dana Pendidikan Tinggi yang di subsidi oleh pemerintah kepada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Masyarakat.
“Menyatakan Pasal 89 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sepanjang frasa ‘sebagai bantuan tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘sebagai bantuan biaya gaji pokok dosen, tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan’,” tandas Teguh.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny dalam nasihatnya mengenai kedudukan hukum Pemohon yang merupakan pengajar pada perguruan tinggi dan perseorangan warga negara Indonesia. Namun uraian dari Pemohon masih belum jelas tentang kesenjangan antara PTN dan PTS yang dimaksudkan. Sebab, Pemohon adalah seorang pengajar yang berstatus PNS, sementara yang diajukan tentang kesejahteraan dosen PTS.
“Perbedaan yang dibayar badan penyelenggara swasta dengan dosen PNS yang dari PTN itu bagaimana perbedaannya dengan yang swasta. Jadi, di sini kerugiannya tidak terlihat karena Pemohon statusnya PNS. Coba carikan penguat yang menggambarkan hal yang menggambarkan proses kesenjangan bahwa penyelenggara hanya mampu memberikan gaji sekian-sekian dengan sama-sama menjalankan fungsi pendidikan nasional,” jelas Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel memberikan catatan untuk melihat risalah melahirkan norma yang diujikan Pemohon yang mengacu pada Pasal 31 UUD 1945. “Kira-kira 20% ini cukup tidak untuk anggaran pendidikan dalam pandangan yang wajar dan bandingkan dengan negara lain yang perguruan tingginya dari swasta menjadi negeri. Coba elaborasi agar bisa memperkuat dalil permohonan,” jelas Daniel.
Pada penghujung persidangan, Hakim Konstitusi Guntur menyampaikan kepada Pemohon yang diberi waktu 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonan. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 31 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.