JAKARTA, HUMAS MKRI – Pasca-Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 terkait dengan dibolehkannya kampanye di fasilitas pemerintahan dan kampusdengan persyaratan tertentu, tiga mahasiswa menguji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Perkara yang diregistrasi MK dengan Nomor 128/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Muhammad Syeh Sultan, A Fahrur Rozi, dan Tri Rahma Dona. Sidang perdana perkara tersebut digelar secara luring oleh Mahkamah Konstitusi, pada Rabu (11/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Para Pemohon mempersoalkan norma yang berbunyi, “Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang: h. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggungjawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”. Sebagaimana diketahui, frasa “kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggungjawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu” yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 lalu.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, A Fahrur Rozi selaku Pemohon II yang hadir langsung tanpa kuasa hukum menyampaikan struktur birokrasi yang sudah tidak netral.
“Kita tahu bahwa baik kampus maupun fasilitas pemerintah sudah memiliki preferensi atau aliran politik tertentu. Jadi kita melihat ketika frasa diperbolehkan kampanye di dunia Pendidikan dan tempat fasilitas pemerintah itu akses izinnya dibolehkan kepada masing-masing pihak kampus maupun fasilitas pemerintahan kita anggap tidak bisa dinetralisir untuk membangun diseminasi gagasan para capres dengan akses yang sama di kampus maupun fasilitas pemerintahan. Terbukti yang pertama bagaimana kita melihat fakta adanya nepotisme, sogok menyogok terkait pemilihan rektor dan lain sebagainya,” ujar Rozi.
Di samping itu, Rozi menyebut persentase 50% lebih itu sebanyak 272 kepala daerah itu merupakan Pelaksana Tugas (Plt) yang ditunjuk oleh pemerintah eksekutif dalam hal ini presiden. “Ketika akses sudah diberikan kepada masing-masing mereka jelas memiliki hegemoni struktural elitisme kekuasaan untuk menyokong bagaimana akses yang tidak sama. Sehingga prevensi politik ini yang akan menuntun mereka. Siapa yang akan diberikan akses izin siapa yang tidak diberikan akses izin,” tegasnya.
Kemudian, Rozi menjelaskan mengutip Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 mengenai alasan tempat ibadah dilarang secara mutlak dikarenakan terdapat nilai religiusitas yang harus dijaga. Tetapi di dunia pendidikan, ia juga melihat memiliki adanya norma-norma atau prinsip nilai-nilai yang harus dijaga keberadaannya tanpa harus terkontaminasi kepentingan politik.
Dalam permohonannya, para Pemohon juga menilai bahwa frasa antisipatif tersebut tetap menimbulkan kerugian bagi insan kampus. Sehingga, dalam petitum, MK diminta Pemohon untuk menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf f UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap frasa “kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggungjawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.”.
Merujuk PMK
Menanggapi permohonan para pemohon Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan ketika menyusun permohonan para pemohon telah mencoba mengikuti ketentuan dalam hukum acara MK dan PMK Nomor 2 Tahun 2021. “Karena ini untuk pertama kali tentu sesuai dengan Pasal 3 UU MK pada sidang pemeriksaan pendahuluan itu Majelis sebelum masuk pokok perkara perlu memeriksa kelengkapan dan penjelasan materi pengujian ini,” ujar Wahiduddin.
Wahiduddin menegaskan, para pemohon perlu mencermati sehingga tidak jadi kesan bahwa pemohon sedang tidak menguji norma dalam UU, melainkan menguji pertimbangan dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023. “Itu hati-hati betul menguraikannya, diurai itu ada yang dipisah dan dimaknai gitu. Sedangkan di kerugian, bentuk kerugian yang dialami oleh pemohon itu tidak disebutkan secara jelas,” tandasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan kerugian konstitusional para Pemohon bukan kerugian faktual, melainkan hanya potensial belaka. “Kerugian itu masih potensi kan belum terjadi? Atau sudah mulai terjadi? Kalau sudah mulai terjadi berarti kerugiannya itu potensial atau setidak-tidaknya aktual. Itu disebabkan oleh apa atau yang diujikan ini sudah dimaknai oleh MK. Jadi subyek hukum atau hak kerugian konstitusionalnya potensial atau aktual kemudian disebabkan oleh pasal yang diujikan ini,” ucap Arief.
Sebelum menutup persidangan, Arief menyebut para pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas maksimal penyerahan berkas perbaikan adalah 24 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha