INILAH.COM, Jakarta â Purnawirawan TNI/Polri menolak pemanggilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut Kontras, kesepakatan purnawirawan lagu usang. Tapi, penolakan itu sah-sah saja.
Seratusan purnawirawan TNI/Polri membuat kebulatan tekad, terutama berkaitan dengan pelanggaran HAM masa lalu. Menurut Juru Bicara Apel Purnawairawan TNI/Polri, Letjen Purn Saiful Sulun, pemanggilan Komnas HAM terhadap purnawirawan sudah melampaui kewenangan. âKami tidak membenarkan dan menolak segala kegiatan komnas HAM," ujarnya, Kamis (24/4).
Karena itu, para jenderal yang dipanggil, diminta tidak menghadiri pemanggilan tersebut. "Itu dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang," tegasnya.
Apa implikasi konsolidasi para pensiunan tersebut terhadap masa depan penegakan HAM di Indonesia? Menurut Koordintor Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid, langkah para purnawirawan semakin memperkeruh keadaan. Pastinya, itu juga membuat buruk citra para pensiunan tentara.
âApa yang dilakukan para purnawirawan semakin memperkeruh suasana. Tentunya, itu akan membuat citra mereka semakin tidak baik,â katanya kepada INILAH.COM, Kamis (24/4) di Jakarta.
Usman menilai upaya para purnawirawan tersebut adalah untuk menghindari pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan di masa lalu. âKarena proses hukum yang sedang ditempuh oleh Komnas HAM itu harus dilihat secara komeperhensif. Jangan hanya dilihat, seolah-olah proses ini hanya ingin menargetkan figur jenderal tertentu, jabatan di tingkat tertentu,â tegasnya.
Meksi demikian, Usman menegaskan itu adalah hak dan sikap mereka untuk menolak pemeriksaan Komnas HAM terhadap para purnawirawan. âItu sah-sah saja. Tapi yang terpenting, institusi TNI harus bersikap netral,â tegasnya.
Usman menilai, tujuh butir yang dikemukakan para purnawairawan TNI/Polri tidak mengalami kemajuan dan merupakan pernyataan yang usang. âHarusnya para purnawirawan melihat bahwa Komnas HAM adalah entitas yang diakui oleh UU, bukan seesuatu yang di luar kebangsaan kita,â tandasnya.
Namun bagi pengamat militer MT Arifin, penolakan para purnawirawan adalah realistis. Menurut dia, Komnas maupun para penggiat demokrasi dan HAM, harusnya bukan dalam konteks tuduhan terhadap militer. âTetapi harus mencari kembali persoalan atau kebijakan pada masa lalu. Bukan pada militer secara institusional,â ingatnya.
Arifin menegaskan, perilaku tentara pada masa lalu harus dilihat dalam konteks pemerintah terlibat atau tidak, ada perintahnya atau tidak. âJadi harus dilihat konteks kejadian saat itu, apakah pemerintah terlibat, dan tindakan tersebut berkaitan dengan UU yang berlaku saat itu,â ujarnya.
Ia menegaskan, dari persepktif itulah dapat dilihat apakah tindakan tentara dianggap melanggar atau tidak. âKalau itu berkaitan dengan konstitusi negara, tentunya pemerintah tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Tetapi jika itu berkaitan dengan kepentingan kekuasaan oleh kelompok yang berkuasa, itu bisa diusut,â paparnya.
Dalam pertemuan itu, para purnawirawan juga mendesak adanya pembenahan komposisi kepengurusan Komnas HAM. âKomnas HAM agar menyadari adanya langkah yang merugikan kepentingan nasional dan menguntungkan pihak lain," cetus Saiful Sulun. Dia meminta agar komnas tidak bergerak menjadi instrumen pemukul.
Para purnawirawan juga meminta pemerintah dan DPR segera menerbitkan UU tentang LSM. Hal ini untuk menghindari pemanfaatan LSM untuk kepentingan asing. "Agar transparansinya dijamin di era reformasi ini," pungkas Saiful.
Namun Usman membantah keras pernyataan purnawirawan tersebut. Menurutnya, pernyataan tersebut adalah bentuk nyata anti-nation yang dimunculkan oleh para purnawirawan. âItu kan bagian upaya mengaburkan masalah. Kalau mereka mengatakan LSM sebagai bagian dari spionase asing, tidak mengerti sejarah republik ini,â tegasnya.
Usman menegaskan, penghormatan manusia, perlakuan setara terhadap warga negara, terhadap para korban dan penegakan hukum adalah prinsip yang mendasar dalam pendirian republik. âKalau mereka masih mengatakan penegakan HAM adalah upaya untuk memecah belah bangsa, itu adalah bentuk lupa terhadap sejarah bangsa sendiri,â tandas Usman.
Dalam kesempatan tersebut, Usman juga berharap penyelesaian perosalan pelanggaran HAM tidak semata-mata melalui konstitusional (putsuan MK). âTidak serta merta putusan MK terhadap kasus HAM dapat membuat hukum ini berjalan lancar, karena masih memerlukan penyelesaian institusional antara instansi pemerintah juga DPR,â katanya seraya menegaskan harus ada tindakan efektif yang diperlukan di kalangan instansi pemerintah. [R FERDIAN ANDI R]
Sumber www.inilah.com
Foto www.google.co.id