BANDUNG, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjadi pembicara dalam kuliah umum “Dialektika Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Kewenangan Mahkamah Konstitusi” di Institut Teknologi Bandung pada Jumat (6/10/2023). Dalam paparan berjudul “Mahkamah Konstitusi dan Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia” ini, Daniel mengajak para mahasiswa S1, S2, dan S3 ITB untuk memahami terlebih dahulu kewenangan MK yang diberikan UUD NRI 1945. Sebab, hal ini terkait dengan fungsi MK dalam menjaga hak konstitusional warga negara atas kepemilikan dan penguasaan atas sumber daya alam dan/atau sumber daya agraria atau hak atas tanah yang menjadi bagian dari permukaan bumi dengan jumlah yang terbatas.
Berbicara aspek agraria, tidak terlepas dari ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada norma ini, sambung Daniel, mencakup kesatuan tanah dan air bagi seluruh rakyat Indonesia, yang meliputi bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di bawahnya.
“Sederhananya, tanah dalam pengertian yuridis berupa permukaan bumi dan hak atas tanah tersebut hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar,” sampai Daniel dalam kegiatan yang turut dihadiri oleh Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Irwan Meilano dan Kepala Pusat Studi Agraria ITB Andri Hernandi di Audiotorium IPTEK Campus Center (CC) Timur, ITB.
Terkait dengan hukum agraria ini, Daniel menyebutkan beberapa putusan MK berkisar perlindungan hak konstitusional warga negara dalam keberadaan peran negara atas pemberdayaan sumber daya air, minyak bumi dan gas, ketenagalistrikan, dan kehutanan. Dalam putusan-putusan tersebut pada hakikatnya, MK sebagai lembaga peradilan konstitusi pada setiap pertimbangan hukumnya memberikan tafsir agar setiap hak ekonomi atau hak kesejahteraan masyarakat berpedoman pada kebermanfaatan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kedudukan UUPA
Pada sesi tanya jawab, pertanyaan muncul dari Nida yang mempertanyakan keberadaan UUPA yang dinilainya bergeser akibat adanya undang-undang baru yang menyertainya. Daniel mengatakan sebagai penafsir tunggal melalui permohonan yang diajukan Pemohon, maka MK akan memberikan beberapa terobosan baru yang dapat saja terejawantahkan pada instruksi menteri, gubernur, dan lainnya.
“Sehingga hakim akan menemukan hukum kendati hukumnya tidak ada, selama ada Pemohon yang mengajukannya. Dan MK melalui hakim konstitusi harus memberikan tafsir atas persoalan hukum yang dihadapi warga negara,” jawab Daniel.
Berikutnya pertanyaan muncul dari Justin yang bertanya relevansi UUPA dalam pembangunan dan investasi. Daniel mengatakan bahwa MK berwenang dalam mengadili perkara norma, bukan implementasi dari sebuah norma. Sehingga ketika berbicara relevansi, maka sejatinya UUPA sudah perlu diperbarui. Akan tetapi, sambung Daniel, dalam pembaruan undang-undang butuh waktu dalam proses panjang. Oleh sebab itu, inilah kesempatan bagi para mahasiswa dan pemerhati hukum untuk mengajukan pembaruannya yang sesuai dengan perkembangan yang ada pada saat ini dan masa mendatang.
Pertanyaan selanjutnya datang dari Rudi yang menanyakan hierarki UU Ciptaker dan UUPA tentang Hak Pengeloaan. Daniel pun menjawab bahwa dalam hukum ada asas hukum, sehingga atas kedua norma ini maka dilihat spesifikasi dari aturan yang dimuat di dalamnya. Misalnya pada kedua norma tersebut mengatur objek yang sama, maka norma yang dipakai adalah undang-undang terbaru. Dengan kata lain, apabila hak pengelolaan dari UUPA juga termuat dalam UU Ciptaker, maka secara substansi norma terbarulah yang menjadi pedoman umum dalam mengatur segala hal terkait hak pengelolaan.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.