PADANG, HUMAS MKRI - Wakil Ketua MK Saldi Isra menjadi pembicara kunci pada kegiatan “Seminar Nasional Andalas Law Competition” yang diselenggarakan oleh Komunitas Basilek Lidah (Kombad) Justicia, pada Jumat (6/10/2023) di Universitas Andalas Sumatera Barat. Seminar ini merupakan bagian dari Andalas Law Competition VI yang bertema “Reaktualisasi Ketatanegaraan Kontemporer Indonesia dalam Menciptakan Negara Hukum Berlandaskan Pancasila”.
Dalam kegiatan tersebut, Saldi yang hadir langsung dalam kegiatan menyampaikan Pemilu di Indonesia menjadi sesuatu yang baru konkret dengan disesuaikan dengan model-model rezim Pemilu secara umum. Kemudian, terdapat pembicaraan yang lebih luas ketika UUD 1945 diubah.
“Saya kerap menyatakan UUD 1945 yang disusun para pendiri negara itu sama sekali tidak menyebut pemilu. Nanti kalau sampai di rumah buka kembali UUD lama, ya yang sebagiannya sudah diubah itu tidak ada pemilu di dalamnya. Ada memang kedaulatan rakyat tetapi frasa pemilihan umum itu tidak muncul di situ. Itu UUD 1945, sekalipun di Konstitusi RIS, UUDS 1950 muncul Pemilu. Tetapi ketika kita kembali ke UUD 1945, pada 1959, kita balik ke Konstitusi yang tidak ada pemilunya. Kalau pada 1971, ada penyelenggaraan Pemilu itu lebih banyak karena kreasi dari TAP MPR yang kemudian diterjemahkan ke dalam UU Pemilihan Umum,” terang Saldi kepada para peserta Seminar Nasional tersebut.
Menurut Saldi, pengaturan mengenai Pemilu baru muncul kala perubahan Konstitusi. Pada Pasal 22E UUD 1945 pada akhirnya mengatur mengenai pemilihan anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Sementara mengenai kepala daerah, Saldi menyebut bahwa di konstitusi memang tidak disebutkan mengenai apakah kepala daerah dipilih langsung atau tidak, tetapi dipilih dengan tunduk pada Pasal 18 UUD 1945 dengan disebutkan dipilih secara demokratis. Sekarang, sambungnya, oleh beberapa putusan MK telah dinyatakan secara tegas bahwa pemilihan kepala daerah itu menjadi rezim pemilihan umum.
“Jadi, kalau orang belajar konstitusi bisa tidak pengadilan mengubah konstitusi? Bisa dengan cara menafsirkan konstitusi itu sendiri tanpa mengubah teks. Ketika MK menyatakan bahwa pilkada itu adalah rezim pemilu itu artinya MK menafsirkan konstitusi dan memberikan pemaknaan bahwa pilkada itu menjadi rezim pemilihan umum,”urai Saldi.
Ia mengatakan, dulu terdapat perdebatan mengenai pilkada. Ketika itu ada yang menganggap Pilkada, bukan rezim Pemilu. “Kenapa? Hal itu dikarenakan aturan mengenai pilkada berada pada bab pemerintahan daerah. Sehingga Pilkada dianggap sebagai rezim pemerintahan daerah. Itupun pada awalnya dikreasikan oleh putusan MK. Jadi MK tuh dulu menyelesaikan sengketa pemilihan kepada daerah lalu tiba-tiba muncul kasus Akil Mochtar, Ketua MK ketika itu ada permohonan mayoritas hakim konstitusi ketika itu mengatakan ini bukan rezim Pemilu,” ujarnya.
Saldi menerangkan, saat ini dengan sistem Pemilu saat ini memilih presiden dan wakil presiden diselenggarakan serentak dengan pemilihan umum. Ia menyebut, banyak perdebatan dan catatan mengenai desain pelaksanaan pemilu serentak. Kemudian, pilkada pun diselenggarakan serentak meski memiliki waktu yang berbeda dengan pemilihan presiden dan legislatif.
“Nanti kepala daerah diserentakkan waktunya dan sekarang secara normatif akan dilaksanakan pada November 2024 meskipun kita membaca ada diskusi memindahkannya ke bulan September. Kita lihat nanti bagaimana jadinya, apa tetap November atau September. Mengapa tidak bisa digabung dengan pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif, karena salah satu angka untuk menentukan pasangan calon itu harus diambil dari hasil pemilu legislatif. Jadi, partai politik bisa mencalonkan kepala daerah menggunakan hasil pemilu legislatif, karena model itu tidak bisa mungkin menyamakannya. Akhirnya ini dipisahkan,” tandasnya. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.