SURAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional bertema “Konstitusionalitas Pencegahan Hoaks dan Hatespeech” pada Jumat (6/10/2023) di Auditorium Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH UNS), Surakarta, Jawa Tengah. Kegiatan tersebut terselenggara atas kerja sama Mahkamah konstitusi (MK) dengan FH UNS. Turut hadir dalam acara tersebut sebagai narasumber Anggota Komisi III DPR RI Eva Yuliana dan Agus Riewanto yang merupakan pengajar di FH UNS.
Suhartoyo menyampaikan pemilihan umum merupakan mekanisme peralihan kepimpinan nasional secara periodik yang menjadi amanat konstitusi sebagai perwujudan negara hukum yang demokrasi. Ia menegaskan, kedaulatan rakyat dalam proses penyelenggaraan negara tidak akan terlaksana tanpa pemilu berlandaskan demokrasi. “Konstitusi telah mengamanatkan agar pemilu yang diselenggarakan harus didasarkan pada prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,” urai Suhartoyo di hadapan para peserta yang hadir secara luring.
Kemudian, Suhartoyo menjelaskan, meski ikhtiar melaksanakan pemilu telah dilakukan dengan benar dan dengan kesungguhan namun di dalam kenyataannya proses demokrasi dalam pemilu atau pilkada bukanlah sesuatu yang mudah dan dapat berjalan lancar tanpa tantangan dan perjalanan yang terjal.
“Tidak hanya di Indonesia, berbagai pemilu dan demokrasi di seluruh dunia juga mengalami ujian yang berat. Hal itu dikarenakan praktek demokrasi yang tidak terkelola dengan baik. Baik menimbulkan perpecahan, situasi keos hingga terjadinya perpecahan atau disintegrasi bangsa,” tegasnya.
Menurut Suhartoyo, sebagaimana termaktub dalam konstitusi, MK sebagai The Guardian of Democracy pada 2019 telah melaksanakan kewenangan serta tugas dan fungsi untuk mengawal proses demokrasi konstitusional yakni penyelenggaraan pemilu serentak. MK telah memutus 261 perkara perselisihan hasil pemilu serentak tahun 2019 lalu. Demikian halnya penanganan perkara perselisihan pemilu serentak yang ditangani oleh MK kedepan diperlukan langkah-langkah yang harus diterapkan dalam menghadapi generasi di era digital teknologi informasi yang salah satunya atau yang salah satu implikasinya adalah penggunaan sosial media dengan atau secara massif. Telah menjadi commen sense bahwa political engineering yang dilakukan oleh para kandidat, simpatisan dan pendukung calon tertentu baik untuk pileg dan utamanya untuk pilpres terasa luar biasa baik secara konvensional, pengerahan massa maupun dengan penggunaan media sosial digital.
Penggunaan media sosial yang massif tersebut tentu sulit dihindarkan dari adanya fenomena penyebaran berita palsu atau hoaks dan hatespeech yang kerap diasosiasikan dengan praktek black campaign pada masa kampanye yang menggunakan text news sebagai senjata dalam memenangkan kontestasi politik. Tantangan hatespeech dan hoax dapat menjadi masalah serius yang mempengaruhi integritas dan keberhasilan proses demokrasi beberapa hal yang menjadi perhatian bagi masyarakat. Tidak hanya pemerintah dan stakeholders penyelenggara pemilu, implikasi berita melalui media sosial seyogianya menjadi alat arus informasi yang mengedukasi bukan menjadi wadah untuk menyebar fitnah dan memecah belah. Masyarakat dan utamanya kaum terdidik dan kalangan perguruan tinggi harus lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi pertarungan politik lima tahunan. Para elite politik juga selayaknya menjadi contoh dan suri teladan bagi rakyat agar kompetisi politik lebih menentukan dan mencerdaskan bukan menimbulkan pertikaian dan perpecahan di kalangan akar rumput.
Suhartoyo menyebut, algoritma media sosial yang kerap kali membuat filter bubble dimana hal ini dapat mengakibatkan pengguna hanya melihat konten yang menyesuaikan preferensi ataupun pandangan mereka. Dalam konteks tertentu hal ini dapat memperkuat pandangan ekstrem seseorang yang memicu lebih banyak lagi hatespeech.
Untuk menghadapi tantangan post truth menjelang pemilu yang mana hoax dan hatespeech menjadi aspek yang tidak dapat dihindari. Sehingga perlu diterapkan beberapa hal yakni pendidikan literasi media hal ini secara langsung dapat membantu masyarakat untuk mengindentifikasi informasi yang tidak benar baik di media konvensional maupun media sosial digital. Kemudian, melakukan verifikasi fakta yang dapat mengungkap kebohongan atau miss informasi dalam berita dan konten-konten yang terkait dengan pemilu.
Pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian pembatasan hak dalam kebebasan hak berpendapat di Indonesia adalah konstitusional karena sebagaimana ketentuan pasal 28 huruf c ayat (2) UUD 1945. Setiap orang tanpa terkecuali wajib taat kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU untuk menjamin dan menghormati hak dan kebebasan orang selain selaras dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
Di akhir pembicaraannya, Suhartoyo menegaskan penyelenggaraan penyelesaian pemilu di MK tidak semata-mata tergantung MK saja, akan tetapi juga tergantung pada semua pihak seluruh elemen pemangku kepentingan yang terlibat di dalam kepemiluan itu baik pada kandidat, parpol, penyelenggara pemilu dan aparatur penegak hukum hingga akhirnya bermuara kepada MK. Begitu pula halnya pemilu yang terjadi di berbagai negara. Kesuksesan dalam demokrasi dan pemilu adalah cerminan untuk kesuksesan warga bangsa. Mengatasi masalah hatespeech dan hoaks merupakan tugas bersama seluruh elemen masyarakat yang cukup kompleks. Namun hal yang jauh lebih penting adalah menjaga integritas dan legitimasi proses demokrasi secara sinergis.
Empat Pilar
Sementara Anggota Komisi III DPR RI Eva Yuliana menjelaskan empat pilar dalam kehidupan bernegara. Ia menyebut dalam menjalankan kehidupan bernegara kita berdasar atau berdiri atas empat pilar tersebut. “Sebagaimana kalau kita mengilustasikan meja, meja ini bisa berdiri kokoh dengan ditopang dengan empat kaki. Jadi kalau kita mengilustasikan sebagai negara atau diri kita sebagai warga bangsa maka kita berdiri sebagai warga negara ini ditopang dengan empat kaki. Empat kaki itu yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI,” sebut Eva.
Sedangkan Dekan FH UNS I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dalam sambutannya menyampaikan rasa terima kasih setinggi-tingginya atas kerja sama yang telah terjalin antara MK dan UNS. “Terima kasih atas kerja sama yang telah terjalin sebagai bentuk dari keharmonisan kerja sama kita dan ini menjadikan satu energi yang luar biasa bagi fakultas hukum dan pencapaian prestasi serta reputasi fakultas hukum selama ini dan tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat Internasional,” terangnya.
Ia menjelaskan “Konstitusionalitas Pencegahan Hoaks dan Hatespeech” merupakan tema yang sangat menarik dalam rangka menjaga keharmonisan bangsa, keharmonisan nasional serta nasionalisme dan menjaga ideologi Pancasila. “Dimana kita ketahui bersama di era teknologi seperti sekarang penggunaan media sosial dan internet luar biasa. Dari total penduduk Indonesia yang kita ketahui bersama luar biasa jumlahnya hampir 267 juta penduduk kira-kira 65%nya menggunakan media sosial. Oleh karena tentu dalam rangka pemilu 2024 topik ini menjadi penting bagi kita semua untuk pencegahan hoax dan hatespeech khususnya dalam pemilu untuk mewujudkan nasionalisme dan keutuhan bangsa ini adalah sangat tepat,” tandasnya. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.