JAKARTA, HUMAS MKRI - Seorang notaris atas nama Budi Wibowo Halim mengajukan uji materiil Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7, dan Pasal 49 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan atas perkara Nomor 117/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Rabu (4/10/2023).
Di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul ini, Budi menyatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI 1945.
Pasal 44 UU HKPD menyatakan, “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. pemindahan hak karena 7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.” Sementara Pasal 49 UU HKPD menyatakan, “Saat terutangnya BPHTB ditetapkan: a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli; b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah; c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris.”
Dalam kasus konkret, Pemohon menjadi salah satu ahli waris berdasarkan Akta Keterangan Hak Mewaris Nomor 06/2021 tanggal 05 April 2021. Namun terancam mengalami kerugian konstitusional atas berlakunya ketentuan Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 dan Pasal 49 huruf b UU HKPD. Pemohon bercerita bahwa dirinya telah menerima warisan, namun belum didaftarkan untuk peralihan hak ke kantor pertanahan masing-masing wilayah hukum warisan tersebut, karena belum mampu membayar bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terhadap warisan yang diperolehnya. Pengaturan yang ada pada pasal tersebut pada pokoknya mengatur bea perolehan hak atas tanah terutang terhadap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang berasal dari pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
Pemohon menambahkan sebelum diundangkannya PMATR/KBPN Nomor 16 Tahun 2021, pendaftaran pencatatan peralihan hak di Kantor Pertanahan untuk warisan berupa hak atas tanah/hak milik atas satuan rumah susun yang dibagikan kepada salah satu atau lebih ahli waris berdasarkan kesepakatan seluruh ahli waris dilakukan berdasarkan PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997. Akibat hal ini terdapat ketentuan bahwa BPHTB Waris untuk pendaftaran pencatatan peralihan hak dari atas nama Pewaris (yang meninggal) kepada seluruh Ahli Waris; dan BPHTB Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan untuk pendaftaran pencatatan peralihan hak dari seluruh Ahli Waris kepada satu atau lebih ahli waris yang disepakati berdasarkan APHB.
Padahal pemisahan dan pembagian warisan dari seluruh ahli waris kepada satu atau lebih ahli waris (tidak semua ahli waris) bukanlah suatu bentuk peralihan hak, sehingga tidak termasuk pada bagian dari terutang BPHTB. Sebagai ahli waris secara konstitusional hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum pengenaan pajak BPHTB karena dikenakan BPHTB untuk pemisahan dan pembagian warisan yang seharusnya tidak BPHTB. Seharusnya Pemohon hanya dikenakan BPHTB Waris, namun karena ketidakjelasan rumusan Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 dan Pasal 49 huruf b UU HKPD, Pemohon justru berpotensi dikenakan BPHTB Waris dan BPHTB Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan hak. Akibatnya besaran pajaknya pun tidak berdasar dan menimbulkan persoalan-persoalan yang menyulitkan penerima waris.
“Kerugian konstitusional Pemohon tidak akan terjadi apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 49 huruf b UU HKPD, sepanjang frasa “hibah wasiat” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga harus dibaca sebagai “sedangkan untuk Hibah wasiat, pada tanggal didaftarkannya peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk hibah wasiat,” ucap Budi yang hadir sendiri secara langsung di Ruang Sidang Pleno MK.
Kedudukan Hukum Pemohon
Pada nasihat Majelis Sidang Panel, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mengatakan Pemohon agar memahami dengan baik Pasal 8 s.d. Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) 2/2020 yang memuat sistematika permohonan pengujian undang-undang yang dibuat lebih sederhana. Pada legal standing dikemukakan Pemohon sebagai warga negara dan/atau sebagai penerima waris dan juga sebagai notaris yang menghadapi klien. “Ini hal yang berbeda, apakah sebagai penerima waris atau sebagai notaris yang akan mendampingi klien dengan persoalan seperti yang dihadapkan pada perkara ini. Legal standing ini pokok, jika tidak jelas materi pokok permohonan, bisa tidak bisa masuk pada perkara ini,” sampai Manahan.
Kemudian Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan catatan mengenai undang-undang yang diujikan merupakan norma yang mencabut UU 33/2004 dan beberapa undang-undang lainnya yang memuat peraturan pelaksanaan yang dasar hukumnya masih menggunakan dasar hukum lama. Sehingga penting bagi Pemohon untuk memperhatikan substansi dari norma baru ini harus diperkuat dengan argumentasi yang baik.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan berdasarkan permohonan, ada kasus konkret yang dibawa ke MK sebagai ahli waris dan hal yang diujikan Pemohon berupa norma yang merupakan penggabungan norma tentang UU 33/2004 dan UU 28/2009. Sehingga konstitusionalitas norma yang dipersoalkan cukup membingungkan. Terlebih pemaknaan yang diminta oleh Pemohon pun perlu disempurnakan agar lebih mudah dimengerti dan pemaknaannya menjadi lebih umum. Berikutnya Enny juga mengingatkan Pemohon bahwa pengujian yang dilakukan berupa undang-undang dan UUD NRI dan bukan peraturan menteri.
“Semakin diperjelas pula pada bagian petitum yang terdapat pada akhir permohonan. Dan persoalan yang dihadapi sudah dijelaskan pada posita sehingga permohonan pada bagian petitum pada permohonannya tidak panjang seperti pada permohonan,” jelas Enny.
Pada penghujung persidangan, Hakim Konstitusi Enny menyebutkan Pemohon diberikan waktu hingga 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa (17/10/2023) pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.