JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil konstitusionalitas Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme). Peria Ronald Pidu (Pemohon I), Mulyadi Taufik Hidayat (Pemohon II), dan Febri Bagus Kuncoro (Pemohon III) dalam Perkara Nomor 103/PUU-XXI/2023 menilai Pasal 43L ayat (4) UU Terorisme bertentangan dengan UUD 1945. Melalui Wahyu Wagiman selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan yang telah dilakukan pihaknya, di antaranya format permohonan yang telah disesuaikan, penyempurnaan substansi mulai dari kewenangan MK yang telah disesuaikan dengan PMK 2/2021.
“Pada permohonan ini kamu juga telah mempertegas kedudukan hukum dan kerugian konstitusional yang telah dielaborasi sesuai dengan syarat pengajuan permohonan ke MK. Selanjutnya alasan permohonan juga sudah dielaborasi berkaitan dengar penerapan batu uji dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan kami juga sudah menjelaskan kedudukan UUD 1945 dan sudah menyesuaikan petitum juga,” jelas Wahyu dalam Sidang Panel yang dilaksanakan oleh Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, para Pemohon menilai pasal tersebut telah merenggut hak korban atas pemulihan. Pemohon yang merupakan para korban tindak pidana terorisme yang peristiwanya terjadi sebelum diundangkannya UU Terorisme yang belum mendapatkan kompensasi dan bantuan berhak mendapatkannya dengan cara mengajukan permohonan kepada LPSK. Hal ini disertai dengan melampirkan surat penetapan korban Tindak Pidana Terorisme yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Selain itu, pengajuannya dibatasi paling lama 3 tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku, yakni pada 22 Juni 2018. Namun bagi para korban yang telah melewati batas waktu tersebut dan belum mengajukan kompensasi kepada LPSK, maka tidak berhak mendapatkan hak-hak yang diatur di dalam undang-undang tersebut. Akibat norma ini, berimplikasi pada waktu yang tersedia bagi LPSK dan BNPT untuk menyampaikan informasi kepada para korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Indonesia untuk dapat mengajukan bantuan dan kompensasi kepada negara.
Para Pemohon melaporkan berdasarkan data LPSK, LPSK telah menyerahkan kompensasi kepada 215 orang korban tindak pidana terorisme dengan jumlah kompensasi sebesar Rp39.205.000.000,- pada 2020. Sementara pada 2021 dan 2022, LPSK telah menyerahkan kepada 357 orang korban dengan jumlah kompensasi sebesar Rp59.720.000.000,-. Mengacu pada laporan LPSK tersebut, ternyata hal ini belum semua korban tindak pidana terorisme mendapatkan hak-haknya. Situasi ini menimbulkan ketidakadilan bagi korban, karena waktu yang sangat terbatas bagi korban untuk mengajukan kepada negara—dalam hal ini LPSK. Selain itu, informasi yang didapatkan tidak merata kepada semua korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Nusantara. Sehingga, banyak korban yang masih belum mendapatkan hak-haknya dalam rangka pemulihannya. Adanya pengaturan mengenai batasan waktu pengajuan permohonan bantuan dan/atau kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme ini tentunya bertolak belakang dengan tujuan adanya perlindungan hukum bagi korban. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 43L ayat (4) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.