JAKARTA, HUMAS MKRI - Saat banyak permohonan mengajukan batas minimal usia pengusulan capres dan cawapres, Soefianto Soetomo dan Imam Hermanda sebagai perseorangan warga negara justru ingin penambahan frasa ‘usia maksimal’ dalam ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu). Sidang perdana atas permohonan perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Rabu (20/9/2023) di Ruang Sidang Panel MK.
Soefianto mengatakan beberapa negara memiliki calon presiden dan calon wakil presiden yang berusia lebih dari 70 tahun yang dinilai tidak maksimal menjalankan tugasnya. Para Pemohon menyebutkan perundang-undangan di Indonesia secara khusus mengatur batas umur pegawai PNS, TNI, Polri, dan pegawai swasta dengan mengisyaratkan masa pensiun. Dengan tidak diaturnya atau tidak ada kejelasan batas usia maksimal untuk mencalonkan diri menjadi capres/cawapres dalam pasal a quo secara nyata telah melanggar hak konstitusional dari para Pemohon.
“Secara nyata hal ini juga sangat diskriminatif dan tidak konsisten sehingga sangat beralasan dan wajar bila para Pemohon mengajukan uji materiil terhadap objek permohonan ini,” sampai Imam dihadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Wakil Ketua MK Saldi Isra yang bertindak sebagai ketua bersama dengan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Arief Hidayat sebagai anggota.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan menyatakan bahwa frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 tahun (tiga puluh ) tahun”.
Perjelas Petitum
Atas permohonan para Pemohon ini, Hakim Konstitusi Areif Hidayat memberikan catatan mengenai perlu para Pemohon untuk mempelajari PMK 2/2021 guna dijadikan dasar dalam penyusunan permohonan. Setelah mencermati permohonan, para Pemohon ingin menambahkan frasa baru berupa batas maksimal.
“Sehingga pada petitumnya harus disesuaikan dengan hal yang diinginkan para Pemohon. Jika melihat permohonan yang ada saat ini, bisa saja dinyatakan kabur karena tidak menyatakan dengan jelas,” jelas Arief.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan dalam nasihatnya menyebutkan agar para Pemohon membuat urutan dari kewenangan yang diberikan undang-undang terhadap penyelesaian perkara yang diujikan, di mulai dari undang-undang kekuasaan kehakiman, undang-undang MK, dan UUP3 serta PMK 2/2021 yang memuat pedoman praktis dalam penyusunan permohonan.
“Setelah itu barulah berdasarkan uraian di atas, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon. Ini harus jelas juga legal standing yang dianggap ada kerugian dari berlakunya norma. Dihubungkan dengan minta diubahnya bunyi pasalnya,” terang Manahan.
Berikutnya Wakil Ketua MK Saldi Isra memberikan catatan tentang penjelasan keterkaitan pasal yang diujikan bertentangan dengan pasal yang ada pada UUD NRI 1945. Selanjutnya para Pemohon juga perlu mempertegas batasan umur yang diajukan agar permohonan tidak dinyatakan kabur. Pada akhir persidangan Saldi menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari agar menyempurnakan permohonan. Untuk kemudian selambat-lambatnya naskah perbaikan dapat diserahkan pada Selasa 3 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Kemudian agenda sidang berikutnya akan diinformasikan kepada para Pemohon. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha