SEMARANG, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh berbagi ilmu tentang cakupan disertasinya yang berjudul “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Suatu Kajian dari Perspektif Hukum Tata Negara Normal dan Hukum Tata Negara Darurat” kepada para mahasiswa S1 dan S2 Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata (FHK Unika Soegijapranata) Semarang, Sabtu (30/9/2023).
Melihat ke dalam UUD 1945, sambung Daniel, konsep pembentukan undang-undang dapat diajukan oleh Presiden, DPR, dan DPD dan disahkan oleh DPR. Namun dalam kondisi kegentingan yang memaksa, Presiden diberikan hak untuk menetapkan suatu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Sementara DPR berhak membentuk atau mendesain suatu rancangan undang-undang dalam keadaan normal dan DPD hanya berhak mengusulkan RUU. Dengan demikian, secara hukum antara Perppu dan undang-undang memiliki perbedaan konsep dalam prosedural pembentukannya.
“Selama ini praktik di Indonesia ini terlihat sama, padahal secara hukum keduanya berbeda dalam kondisi diterbitkannya. Satu karena keadaan darurat, dan yang satunya dalam situasi normal. Itulah karakteristik dasar dari Perppu yang harus dipahami secara baik,” jelas Daniel dalam kegiatan yang turut dihadiri Dekan FHK Unika Soegijapranata Marcella Elwina Simandjuntak di Ruang Magister Hukum Kesehatan, Gedung Thomas Aquinas.
Daniel menjelaskan tujuan dari lahirnya Perppu untuk mengatasi situasi darurat dan bersifat sementara. Namun dalam praktiknya di Indonesia, meski Presiden merancang suatu Perppu di saat DPR tidak dapat melakukan sidang (reses), tetapi kemudian saat disetujui oleh DPR dapat menjadi undang-undaang. Padahal, menurut Daniel, dari pola pembentukannya berbeda karena tidak ada naskah akademik layaknya dalam penyusunan suatu norma undang-undang ketika situasi normal.
“Jadi dari praktik ini, Indonesia menganut sistem hukum tata negara darurat subjektif, karena Presiden dapat menetapkan sejumlah pasal di dalam Perppu. Kembali lagi ini menjadi pandangan subjektivitas Presiden dan pada praktiknya hingga saat ini belum ada legalitas kesementaraan yang menyatakan keadaan darurat saat dikeluarkannya Perppu sebagaimana ketentuan hukum semestinya. Sebab, sejatinya Perppu tidak dapat diundangkan karena sifat berlakunya yang sementara,” terang Daniel dalam kegiatan yang juga diikuti para mahasiswa secara daring.
Perppu dan Kewenangan MK
Selanjutnya bertalian dengan kuliah umum bertema “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)” ini, Daniel menunjukkan keberadaan MK dalam menyikapi perkara ini. Awalnya, kewenangan ini tidak diberikan kepada MK. Barulah berdasarkan Putusan MK Nomor Nomor 138/PUU-VII/2009, MK menyatakan objek permohonan pengujian undang-undang dapat berupa Undang-Undang dan Perppu. Hal ini kemudian dituangkan pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
Usai menjabarkan materi, para mahasiswa yang hadir secara daring dan luring mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satunya dari Jenita Tryani yang mempertanyakan apa penyebab terjadinya pergeseran praktik diterbitkannya Perppu di Indonesia yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang. Atas pertanyaan ini, Daniel pun menjawab bahwa syarat kumulatif dari terbitnya sebuah Perppu yakni keadaan mendesak, belum ada undang-undang yang terkait dengan persoalan yang dihadapi, dan mengatasi ketidakpastian hukum. Namun pada kenyataan di lapangan, terbitnya Perppu yang kemudian diundangkan semestinya tidak dapat dilakukan karena penggolongannya berbeda dan tidak perlu dihierarkikan, kendati keberlakuannya setingkat dengan undang-undang.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.