JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan tidak dapat menerima permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD 1945. Permohonan diajukan oleh Rega Felix yang merupakan seorang Advokat dan Dosen Non PNS. Sidang pengucapan Putusan Nomor 79/PUU-XXI/2023 dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya, pada Rabu (27/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon sepanjang Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak dapat diterima. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,,” kata Anwar Usman membacakan amar putusan.
MK dalam pertimbangan hukumnya mengatakan, dalam memaknai Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 tidak dapat dipisahkan dari ketentuan pokok yang menjadi ancaman pidana sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 dimaksud, yang telah menegaskan keterkaitan dengan ketentuan norma Pasal 156a KUHP. Oleh karena itu, adanya frasa mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan adalah ditujukan sebagai bentuk pengecualian apabila perbuatan/tindakan tersebut dilakukan, misalnya di lembaga pendidikan atau ilmu pengetahuan yang merupakan forum untuk menguji suatu hipotesis yang kebenarannya masih perlu diuji secara ilmiah bukan dari perspektif ilmu hukum pada umumnya, dalam hal ini hukum pidana.
“Dengan demikian tidak relevan adanya asumsi atau anggapan dari Pemohon sebagai bentuk kekhawatiran bahwa frasa "kata-kata" dapat menjadi modus aparat penegak hukum sebagai norma yang bersifat elastis dan berpotensi untuk menjerat pidana bagi pelaku yang menggunakan forum tersebut. Di samping pertimbangan hukum dimaksud, Mahkamah juga berpendapat bahwa mempersoalkan konstitusionalitas Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 tanpa menyertakan pengujian konstitusionalitas terhadap Batang Tubuh Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 adalah suatu pengujian konstitusionalitas yang tidak utuh atau tidak komprehensif, sebab ketentuan norma Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yang menjadi satu kesatuan dengan ketentuan norma Pasal 156a KUHP adalah ketentuan pidana yang terdiri dari unsur-unsur delik pidana,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan hukum MK.
Dengan demikian, terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas norma Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 dan frasa "yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan dalam Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yang diajukan oleh Pemohon tidak secara utuh atau tidak komprehensif dalam menguji Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yaitu tidak menyertakan pengujian Batang Tubuh Pasal tersebut menjadikan permohonan Pemohon sepanjang berkaitan dengan pengujian Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 adalah tidak jelas atau kabur.
Menjunjung Tinggi Nilai-nilai Agama
Berikutnya, pertimbangan hukum Mahkamah terhadap dalil Pemohon berkenaan dengan pemaknaan norma dalam Pasal 6 huruf b, Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g. dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012, yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara bersyarat.
Mahkamah menegaskan bahwa Pasal 6 huruf b, Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan konsiderans menimbang, mengingat, ketentuan umum, bagian ayat, pasal, dan penjelasan. Dalam kaitan ini, konsiderans Menimbang huruf a UU 12/2012 sebagai landasan pengaturan keseluruhan norma dalam UU a quo telah menyatakan bahwa UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nila agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Frasa "menjunjung tinggi nilai-nilai agama” dalam konsiderans menimbang, atau frasa "nilai agama" dalam norma yang didalilkan Pemohon, merupakan frasa yang sesungguhnya bermuara pada Pancasila sebagai nilai ideologis bangsa Indonesia.
Nilai tersebut mengkonseptualisasikan nilai-nila ketuhanan (religiusitas) yang merupakan sumber etka dan spiritualitas yang melandasi etik kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Sebab, Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan agama dan negara, dan bukan pula yang menggunakan satu agama tertentu untuk dijadikan dasar bernegara tetapi mensinergikan berbagai agama dan keyakinan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai negara yang memiliki keberagaman agama dan keyakinan maka negara harus dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama. Oleh karenanya, dengan adanya frasa "menjunjung tinggi nilai-nilai agama" tidak dimaksudkan untuk membatasi hak-hak individu sehingga mudah untuk dikriminalisasi karena adanya Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965, sebagaimana yang Pemohon khawatirkan. Dalam kaitan ini, tidak ada korelasi antara frasa menjunjung tinggi nilai-nilai agama dengan Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965.
Oleh karena itu, jika Petitum Pemohon yang meminta kepada Mahkamah untuk memaknai Pasal 6 huruf b, Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012 dikabulkan menjadi “tanpa adanya ancaman dan pertanggungjawaban pidana bagi sivitas akademika untuk berbeda pendapat dengan pandangan umum keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat dalam rangka proses pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah”, justru hal itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat individu untuk berekspresi secara bertanggung jawab.. Terlebih lagi, Penjelasan Pasal 3 huruf g UU 12/2012 yang Pemohon persoalkan tersebut tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pengaturan asas-asas pendidikan tinggi yang bersifat kumulatif yang meliputi; kebenaran ilmiah, penakaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinnekaan, dan keterjangkauan (vide Pasal 3 UU 12/2012).
Menurut Mahkamah, frasa menjunjung tinggi nilai-nilai agama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Konsiderans Menimbang huruf a UU 12/2012. Oleh karenanya, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terhadap frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama". Frasa tersebut memberikan pembatasan yang bersifat umum bagi sivitas akademika dalam rangka menjunjung tinggi, tidak hanya nilai-nilai agama, tetapi juga persatuan bangsa serta peraturan perundang-undangan. Pembatasan demikian tidaklah bertentangan dengan hak asasi manusia, karena merupakan hal yang diperlukan dalam negara yang berlandaskan ideologi Pancasila.
Frasa tersebut tidak hanya digunakan dalam UU 12/2012 tapi juga dalam UU lainnya. Misalnya dalam Pasal 20 huruf d UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan, "Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika". Kemudian dalam Pasal 5 UU 33/2009 tentang Perfilman menyatakan "Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa".
Menurut Mahkamah, sebagai seorang akademisi, Pemohon telah mendapat hak atas kepastian hukum untuk mendapatkan kemerdekaan berpikir dan hati nurani serta untuk menyatakan pikiran, sikap, dan mengeluarkan pendapat untuk memajukan dirinya dan untuk memperjuangkan haknya secara kolektif dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara demi kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia melalui lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan tanpa dibayangi ancaman ketakutan sebagai hak konstitusional bagi sivitas akademika. Negara telah memberikan kerangka yang jelas kepada Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional yang tidak dapat dilepaskan dari amanat Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan pemaknaan norma dalam Pasal 6 huruf b, Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012 yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara bersyarat sebagaimana termaktub dalam Petitum a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
Oleh karena itu, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas menurut Mahkamah terkait Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) Pasal 280 ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 281 ayat (1) UUD 1945, merupakan dalil yang tidak jelas atau kabur (obscuur). Sementara itu, berkenaan dengan norma Pasal 6 huruf b, Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012 telah ternyata tidak melanggar prinsip kepastian hukum untuk mendapatkan kemerdekaan pikiran dan hati nurani serta untuk menyatakan pikiran, sikap, dan mengeluarkan pendapat melalui lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan tanpa dibayangi ancaman ketakutan sebagai hak konstitusional bagi sivitas akademika sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Oleh karena itu, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
Pendapat Berbeda
Dalam putusan ini, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Manahan mengatakan, untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah terjadinya kerugian konstitusional yang lebih luas, maka Mahkamah dapat memberikan penangguhan konstitusionalitas berlakunya ketentuan a quo agar selaras dengan UU yang akan berlaku.
“Untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara, serta terjaminnya kepastian hukum yang adil serta untuk mencegah adanya penafsiran yang tidak selaras dengan UUD 1945, maka penjelasan Pasal 4 UU a quo harus dimaknai penjelasan Pasal 4 uu a quo ditunda keberlakuannya sampai UU No 1/2023 secara resmi diberlakukan berdasarkan Pasal 624 UU No 1/2023",”jelas Manahan saat membacakan pendapat berbeda.
Baca juga:
Kebebasan Akademik dan Bayang-Bayang Delik Pidana Penodaan Agama
Bertambah Objek Pengujian Pasal Penodaan Agama dalam Kebebasan Akademis
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.