JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (25/9/2023). Permohonan yang diregistrasi MK sebagai Perkara Nomor 98/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Andi Redani Suryanata yang merupakan seorang mahasiswa. Pemohon menguji UU Pemilu dengan mempersoalkan norma Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1). Pada dasarnya, kedua norma mengatur tentang persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten /Kota serta ketentuan pendaftaran bakal calon anggota DPD melalui KPU Provinsi.
Sidang tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Dalam persidangan, Gracia selaku kuasa pemohon menyampaikan perbaikan permohonan yang telah dilakukannya.
“Pada halaman 5 dimana permohonan pengujian materiil Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap pasal 28b ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” ujar Gracia.
Selanjutnya, kedudukan hukum dan kerugian konstitusional Pemohon dijelaskan bahwa untuk memenuhi kualifikasi pemohon yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD. Ia mengatakan pada bagian a hak konstitusional pemohon yang dijamin dalam UUD 1945, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2).
“Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya UU yang dimohonkan pengujian. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,” terang Gracia.
Baca juga: Menyoal Ketiadaan Batasan Periode Kerja Bacaleg
Sebelumnya Pemohon menyampaikan Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UU Pemilu harus dimaknai bahwa pembatasan periode kerja Anggota DPR, DPD, dan DPRD sama pentingnya dengan pembatasan periode kerja Presiden/Wakil Presiden. Menurut Pemohon, rendahnya kualitas, integritas, kompetensi/kapabilitas hingga membuka peluang besar untuk korupsi kolusi nepotisme selaku lembaga negara legislatif disebabkan peraturan Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UUD 1945 yang tidak mencantumkan pembatasan periodisasi sebagai persyaratan bakal calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Berdasarkan dalil tersebut di atas, sambungnya, maka Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UU Pemilu harus menyatakan dengan tegas agar syarat pemilihan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD mencantumkan adanya batasan periodisasi, yaitu hanya dibolehkan menjabat dalam jabatan yang sama selama 2 (dua) periode saja. Hal ini supaya periode kerja anggota legislatif sama pentingnya dengan periode kerja presiden/wakil Presiden (eksekutif), agar mencegah keabsolutan dan penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Pemohon, selain membatasi hak-hak konstitutional warga negara, pembatasan periodisasi menjadi hal penting karena keadaan lembaga negara saat ini. Tidak adanya jaminan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan, yang salah satu faktor penyebabnya ialah kurangnya inovasi dan pembaharuan bagi lembaga negara dalam menjalankan pemerintahan. Kenyataan ini sejalan dengan pandangan Giovanni Sartori yang menyatakan, masalah dalam sistem pemerintahan presidensial bukan terletak di lingkungan kekuasaan eksekutif, tetapi lebih pada kekuasaan legislatif;
Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum apabila tidak dimaknai “Syarat calon anggota DPR, DPD, dan DPRD hanya memegang jabatan paling lama 2 (dua) periode dan sesudahnya tidak dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha