JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua atas pengujian Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Muhammad Yusuf Mansur dan Muhammad Fauzan selaku para Pemohon meminta pembatalan Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam sidang dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan Perkara Nomor 101/PUU-XXI/2023 yang berlangsung pada Kamis (21/9/2023) ini, para Pemohon melalui Muhammad Yusuf Mansur menyatakan pencabutan/penarikan kembali permohonannya.
Atas hal ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku Ketua Majelis Sidang Panel berserta Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh sebagai anggota pun melakukan klarifikasi secara langsung. Para Pemohon pun membenarkan telah mengajukan surat penarikan kembali atas permohonan para Pemohon yang telah disampaikan ke Kepaniteraan MK. “Ya, surat yang dibuat itu benar,” sampai Yusuf dalam sidang yang diikutinya secara daring.
Baca juga: Nilai Rawan Konflik, Pemohon Minta Pilpres Langsung Diganti Pemilihan Melalui MPR
Pada sidang pendahuluan terdahulu, Kamis (14/9/2023) para Pemohon meminta pembatalan Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya meminta agar Pasal 6 sesudah Perubahan UUD 1945 kembali kepada Pasal 6 sebelum Perubahan UUD 1945 yang menyatakan, “(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan suara yang terbanyak”. Dalam permohonan para Pemohon menyatakan, berdasarkan amendemen pasal tersebut, Pemilihan Umum (Pemilu) terlihat mengalami perubahan dari perwakilan melalui Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) dengan suara terbanyak menjadi pemilihan langsung. Namun pada kenyataannya, pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung ini memiliki kelemahan, di antaranya rawan konflik antarkubu peserta pemilu dan tingginya biaya pengadaan pemilu.
Selain itu, amendemen tersebut dinilai tidak mempertimbangkan sila ke-4 Pancasila. Pada butir Pancasila tersebut secara implisit dan ekplisit mengamanatkan kepemimpinan harus dipilih dengan musyawarah mufakat. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan perubahan UUD 1945 pasal 6 serta pasal 6 huruf (A) beserta ayat yang terkandung didalam pasal perubahan pasal 6 dan pasal 6 huruf (A) karena tidak sesuaidengan Pancasila sila ke-4. Kemudian, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan turunan pasal 6 dan 6 huruf (A) yang termuat dalam perundang-undangan pemilu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pimpinan kepala Daerah. “Mengembalikan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta kepala Daerah melalui lembaga MPR,” tandas Yusuf. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana