JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana atas uji materiil konstitusionalitas Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme). Peria Ronald Pidu (Pemohon I), Mulyadi Taufik Hidayat (Pemohon II), dan Febri Bagus Kuncoro (Pemohon III) menilai Pasal 43L ayat (4) UU Terorisme menyatakan, “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku” bertentangan dengan UUD 1945.
Wahyu Wagiman, Ronald M. Siahaan, Muhammad Irwan, dan Judianto Simanjuntak selaku kuasa hukum dari para Pemohon Perkara Nomor 103/PUU-XXI/2023 menilai pasal tersebut telah merenggut hak korban atas pemulihan. Pemohon yang merupakan para korban tindak pidana terorisme yang peristiwanya terjadi sebelum diundangkannya UU Terorisme yang belum mendapatkan kompensasi dan bantuan berhak mendapatkannya dengan cara mengajukan permohonan kepada LPSK. Hal ini disertai dengan melampirkan surat penetapan korban Tindak Pidana Terorisme yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Selain itu, pengajuannya dibatasi paling lama 3 tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku, yakni pada 22 Juni 2018. Namun bagi para korban yang telah melewati batas waktu tersebut dan belum mengajukan kompensasi kepada LPSK, maka tidak berhak mendapatkan hak-hak yang diatur di dalam undang-undang tersebut. Akibat norma ini, berimplikasi pada waktu yang tersedia bagi LPSK dan BNPT untuk menyampaikan informasi kepada para korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Indonesia untuk dapat mengajukan bantuan dan kompensasi kepada negara.
“Para Pemohon tidak memilik akses dan kekuatan yang cukup untuk mendapatkan bantuan dari Pemerintah karena ketentuan pasal a quo sangat membatasi hak-hak para Pemohon dan sampai saat ini para Pemohon belum mendapatkan kompesnasi dari Pemerintah. Para Pemohon sudah berkomuniasi dengan lembaga terkait untuk mendapatkan bantuan, tetapi ketentuan ini ternyata tidak membeberikan peluang lain bagi para Pemohon untuk mendapatkakn kompensasi dari Pemerintah,” jelas Wahyu di hadapan Majelis Panel Hakim, yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih.
Para Pemohon melaporkan berdasarkan data LPSK, LPSK telah menyerahkan kompensasi kepada 215 orang korban tindak pidana terorisme dengan jumlah kompensasi sebesar Rp39.205.000.000,- pada 2020. Sementara pada 2021 dan 2022, LPSK telah menyerahkan kepada 357 orang korban dengan jumlah kompensasi sebesar Rp59.720.000.000,-. Mengacu pada laporan LPSK tersebut, ternyata hal ini belum semua korban tindak pidana terorisme mendapatkan hak-haknya.
Situasi ini menimbulkan ketidakadilan bagi korban, karena waktu yang sangat terbatas bagi korban untuk mengajukan kepada negara—dalam hal ini LPSK. Selain itu, informasi yang didapatkan tidak merata kepada semua korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Nusantara. Sehingga, banyak korban yang masih belum mendapatkan hak-haknya dalam rangka pemulihannya. Adanya pengaturan mengenai batasan waktu pengajuan permohonan bantuan dan/atau kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme ini tentunya bertolak belakang dengan tujuan adanya perlindungan hukum bagi korban.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 43L ayat (4) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kedudukan Hukum
Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihat hakim menyebutkan terkait kedudukan hukum perlu dijelaskan peristiwa konkret yang dialami para Pemohon dengan pasla yang diujikan. Mengingat pada pasal tersebut memberikan batasan waktu, sehingga perlu narasi yang kuat atas hak konstitusional yang dimiliki dirugikan. “Sebab, norma ini tahun berapa dan peristiwa juga tahun berapa, kenapa baru sekarang diajukan. Maka ini perlu dielaborasikan dan diuraikan pada permohonan ini,” jelas Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Enny yang mengamati bukti dari BNPT berupa surat penetapan korban terorisme yang resmi meminta agar Pemohon untuk mempertegas posisi Pemohon. Selain itu, Enny juga menyebutkan perlu bagi para Pemohon untuk menguraikan dengan dengan asas, doktrin, dan teori yang memuat pertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya, Hakim Konstitusi Arief menyebutkan perlu bagi Pemohon untuk memperbaiki sistematika dengan menghilangkan bagian pendahuluan yang dinilai tidak perlu. Untuk itu, perlu memahami PMK 2/2021 yang digunakan dalam hukum acara MK.
Pada akhir persidangan Arief menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaik permohonan atas nasihat para hakim. Untuk kemudian naskah perbaikan dapat diserahan selambat-lambatnya Senin, 2 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.