JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang aturan pencatatan perkawinan bagi penduduk beragama non-Islam sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) pada Senin (18/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Pada sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan ini, Harry Pratama yang merupakan perseorangan warga negara dan bertindak sebagai Pemohon, tidak dapat menghadiri persidangan.
Atas ketidakhadiran Pemohon Perkara Nomor 89/PUU-XXI/2023 ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku pimpinan Sidang Panel menyampaikan pada sidang terbuka untuk umum ini perihal alasannya. Bahwa Pemohon telah menginformasikan bahwa adik yang bersangkutan meninggal dunia. Oleh karenanya, Pemohon pun tidak dapat mengikuti persidangan kali ini.
“Harry Pratama telah dipanggil secara patut dan sah oleh Kepaniteraan MK dan tidak dapat hadir pada persidangan ini. Yang bersangkutan mengirimkan informasi bahwa pihaknya tidak akan melanjutkan pengujian atas norma karena ada persoalan meninggalnya adiknya. Dan terkait dengan permohonan ini, Pemohon meminta untuk dibatalkan atau digugurkan. Oleh karena Pemohon tidak hadir, maka tidak ada perbaikan yang disampaikan pada persidangan. Sehingga persidangan ini dinyatakan selesai dan ditutup,” ucap Enny dalam sidang yang juga diikuti oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh sebagai hakim anggota Sidang Panel.
Baca juga: Dinilai Diskriminasi, Aturan Pencatatan Perkawinan Bagi Penduduk Beragama Non-Islam Diuji
Sebagaimana diketahui, pada Sidang Pendahuluan yang digelar Senin (4/9/2023) lalu, Pemohon dalam kasus konkret mengajukan Pencatatan Kependudukan untuk Pembuatan Akte Lahir Anak di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota (Didukcapil). Salah satu syarat yang harus dipenuhi berupa Lampiran Akta Nikah orang tua dari anak tersebut karena yang bersangkutan bergama Kristen (Nonmuslim), sedangkan bagi warga negara yang beragama Islam syarat demikian tidak diperlukan. Atas hal ini Pemohon merasa dirugikan dengan diskriminasi yang nyata diatur pada Pasal 34 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Adminduk.
Sederhananya, jika warga beragama Islam hanya perlu melampirkan Buku/Akta Nikah dari KUA Kecamatan akan langsung diproses dan dilakukan Pencatatan Kependudukan, sedangkan bagi warga nonmuslim harus membuat Akta Nikah Sipil lagi dari Dinas Dukcapil. Pasalnya Buku/Akta Nikah dari Gereja/Vihara/Pura dikatakan tidak berlaku untuk melakukan Pencatatan Kependudukan ke Pemerintah. Menurut instansi terkait, pernikahan/pemberkatan yang dilakukan tersebut hanya sebagai bukti warga tersebut menikah, tetapi tidak resmi di Pemerintah. Dengan kata lain, kata tersebut dapat diartikan bahwa Pemerintah hanya mengakui pernikahan/pemberkatan warga nonmuslim, apabila instansi terkait telah menerbitkan Akta Nikah.
Menurut Pemohon hal ini suatu bentuk diskriminasi terselubung, bahkan sangat mengintimidasi hak warga. Ia mempertanyakan bagaimana bisa Pemerintah membuat kasta-kasta berupa syarat ke warga nonmuslim dengan tameng Pasal 34 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Adminduk ini. dalam pandnagannya dampak yang akan terjadi jika terdapat pembedaan dalam pengurusan suatu urusan di biro/instansi/kantor pemerintahan dilihat dari status agamanya adalah warga yang beragama nonmuslim akan kesulitan mendapatkan haknya sebagai warga negara. Dengan pembedaan tersebut, terlebih soal waktu yang sempit, maka timbul niat untuk menggunakan jasa makelar agar data kependudukan bisa terselesaikan. Pemohon menilai, Pemerintah itu sendiri yang membodohi warganya dengan menggunakan uang lalu masalah selesai. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.