JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) tidak dapat diterima. Sidang Pengucapan Putusan terhadap Perkara Nomor 82/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Kamis (14/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Atas permohonan yang diajukan oleh Almizan Ulfa yang merupakan pensiunan peneliti utama ASN Kementerian Keuangan ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peratuan perundang-undangan adalah dengan memberikan masukan yang diatur dalam UU P3. Sementara pada UU 13/2022 diperluas menjadi pada semua tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi tahapanperencanaan, penyusunan, pembagasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Lebih jelas Enny menyebutkan, tahapan terpenting untuk mendapatkan masukan masyarakat adalah tahapan perencanaan, pembahasan, dan penyusunan. Hak demikian diberikan kepada masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 96 ayat (1) UU Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Adapun pembatasan yang dimaksud masyarakat yang dapat memberikan masukan, baik orang perseorangan atau kelompok orang yang berdampak langsung atau mempunyai kepentingan atas materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan diatur pada Pasal 96 ayat (3) UUP3. Selain itu, sambung Enny, telah pula ditentukan kemudahan akses terhadap naskah akademik atau rancangannya diatur pula daam Pasal 96 ayat (4) UUP3.
“Dengan demikian, pengaturan partisipasi masyarakat dalam UUP3 sudah cukup memadai karena pembentuk undang-undnag tidak mungkin menentukan secara rigid hal yang lebih teknis dalam sebuah undang-undang. Oleh karena itu, Pasal 96 ayat (9) UUP3 mengamanatkan kepada masing-masing lembaga pengusul rancangan undang-undang untuk mengatur lebih teknis ihwal partisipasi publik dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden,” terang Enny.
Baca juga:
Konstitusionalitas Aturan Alur Partisipasi Publik dalam Penyusunan Pembentukan Undang-Undang Dipertanyakan
Uji Konstitusionalitas Aturan Alur Partisipasi Publik dalam UU P3, Pemohon Uraikan Kerugian
Dalam sidang sebelumnya, Almizan yang hadir tanpa kuasa hukum menyebutkan Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3 bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Pemohon mempertanyakan ketidakkonsistenan antara Pasal 96 ayat (1) dengan ayat (6), ayat (8), dan ayat (9) UU P3 dengan mencermati dua kata kunci ‘berhak’ dan ‘dapat’. Untuk memenuhi hak ini, Pemerintah wajib mendengarkan, mempertimbang, dan memberikan jawaban atas pendapat yang diberikan masyarakat, di antaranya melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi, kegiatan konsultasi publik. Namun atas adanya pilihan pada norma tersebut dapat bermakna multitafsir dan tidak memiliki kepastian hukum. Sebab pembentuk undang-undang dapat saja menggunakan salah satu dari pilihan yang ada tersebut saat melakukan penyusunan peraturan perundang-undangan. Justru hal yang dinilai perlu menurut Pemohon berupa prinsip-prinsip yang menjamin suara masyarakat didengar, dipertimbangkan, dan ditanggapi seefisien mungkin dalam satu jalur atau koridor yang efisien dan berkelanjutan hingga tercapainya tujuan pastisipasi publik. Untuk itu, dalam petitumnya, Almizan meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan konstitusionalitas bersyarat. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim