JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan uji materiil aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan oleh Partai Buruh (Pemohon I) tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan Nomor 80/PUU-XXI/2023 ini dibacakan pada Kamis (14/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat Partai Buruh adalah partai politik yang tidak mengikuti pemilihan pada pemilu sebelumnya, sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diberlakukan bagi partai politik yang telah mengikuti pemilu anggota DPR sebelumnya, telah memperoleh dukungan suara tertentu. oleh karenanya batasan ketentuan syarat ambang batas minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut tidak diberlakukan bagi Pemohon (Pemohon I).
Sementara terkait kedudukan hukum dua Pemohon lainnya, yakni Mahardhikka Prakasha Shatya dan Wiratno Hadi, Mahkamah menegaskan terkait kedudukan hukum perseorangan warga negara yang melakukan pengujian konstitusionalitas norma pasal 222 UU Pemilu, Mahkamah pada Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Nomor 66/PUU-XIX/2012 telah memberikan penjelasan. Dalam dua putusan tersebut dijelaskan bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian atau norma Pasal 222 UU Pemilu adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; perseoragan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan.
“Dalam kaitan ini, tidak terdapat bukti yang meyakinkan Mahkamah apakah Pemohon II dan Pemohon III merupakan perseorangan warga negara yang telah memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai pasangan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden Tahun 2024. Menurut Mahkamah Pemohon I, II, dan III tidak memilikikedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, ” ucap Arief dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Tetap Dapat Mengusulkan
Selanjutnya terkait dengan permintaan para Pemohon agar partai politik yang tidka mengikuti pemilihan umum pada pemilu sebelumnya tetap dapat mengusulkan capres dan cawapres, Mahkamah tetap pada pendiriannya. Yakni berdasarkan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang menentukan persyaratan pengusulan pasangan capres/cawapres adalah didasarkan pada perolehan kursi DPR atau suara sah nasional pada Pemilu angggota DPR sebelumnya.
Ihwal demikian, sambung Arief, tidak berarti menghalangi hak konstitusional para Pemohon sebagai partai politik untuk turut serta mengusung pasangan capres/cawapres yang akan datang. Sebab, para Pemohon tetap dapat menggabungkan diri dengan partai politik atau gabungan partai politik lain yang telah memenuhi syarat ambang batas dalam pencalonan capres/cawapres. “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK memnacakan amar putusan.
Seharusnya Dikabulkan Sebagian
Dalam putusan tersebut, Wakil Ketua MK Saldi Isra kembali menegaskan pendapat hukumnya terkait pengujian aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebagaimana dalam putusan-putusan sebelumnya. Saldi dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) putusan a quo menyatakan Mahkamah seharusnya mampu melindungi hak konstitusional (constitutional rights) partai politik peserta pemilihan umum untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Saldi juga mempertimbangkan beberapa hal terkait pokok permohonan Pemohon. Pertama, para Pemohon memiliki cara pandang yang tidak konsisten dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang sama sekali tidak menghendaki adanya ambang batas dalam mengajukan pasangan calon Presiden-Wakil Presiden. Kedua, para Pemohon dapat membenarkan ambang batas perolehan suara palling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional, sepanjang tetap memberikan kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang telah ditetapkan KPU sebagai peserta pemilihan umum. Ketiga, para Pemohon juga tetap membenarkan atau menerima persentase tersebut berasal dari hasil pemilihan umum sebelumnya.
Hal ihwal ketiga pertimbangan tersebut, Saldi berpandangan para Pemohon sepertinya berupaya “mencari celah” agar tetap dapat mengajukan pasangan calon Presiden-Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum 2024. Sebagai suatu permohonan yang substansinya telah berpuluh kali ditolak oleh Mahkamah, upaya mencari celah yang demikian dapat dimengerti. Namun, oleh karena sebagian pemaknaan yang dimohonkan dapat saling bertentangan atau kontradiktif (contradictory) dengan substansi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, maka permohonan para Pemohon hanya dapat dikabulkan atau beralasan menurut hukum untuk sebagian, sepanjang dimaknai “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Untuk itu, ia berpandangan seharusnya Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan para Pemohon.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion) menyatakan syarat mengikuti Pemilu sebelumnya bukan berkaitan dengan penentuan jumlah minimum (ambang batas). Akan tetapi, lanjutnya, berkaitan dengan syarat partai peserta Pemilu sebelumnya agar dapat memenuhi prinsip eksistensi, aksesibilitas, dan pengakuan serta keterpenuhan prinsip akseptabel dari partai yang bersangkutan untuk dapat diterima dalam masyarakat sebagai salah satu instrumen pada saat pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan hal tersebut baru dapat diukur dari kualitas dari lembaga partai yang bersangkutan pada kepesertaannya pada Pemilu sebelumnya. Berdasarkan alasan tersebut, ia berpendapat Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karena itu isu konstitusionalitas pada pokok permohonan yang dipersoalkan oleh Pemohon I tidak relevan untuk dipertimbangkan. Sementara itu, terhadap Pemohon II dan Pemohon III karena mendalilkan sebagai pihak yang telah berpartisipasi untuk demokrasi dan terdaftar sebagai pemilih dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, saya berpendapat, terhadap Pemohon II dan Pemohon III dapat bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
Baca juga:
Partai Buruh Ujikan Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Partai Buruh Pertegas Alasan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Pada sidang pendahuluan pada Rabu (23/8/2023) lalu, Pemohon I menyebutkan pihaknya dirugikan dalam pemberlakuan syarat ambang batas minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Di samping itu, Pemohon I juga melihat partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 222 UU Pemilu lalu tidak ada yang mencerminkan, memperjuangkan, atau memiliki tujuan yang sejalan dengan perjuangan dan gagasan Pemohon I. Sebab sebagai partai politik yang memiliki fokus pada isu perburuhan, pertanian, agraria, lingkungan hidup, masyarakat adat, Partai Buruh bercita-cita mewujudkan negara kesejahteraan yang di antaranya berlandaskan pada kedaulatan rakyat; lapangan kerja; pemberantasan korupsi; jaminan sosial.
Sementara dalam memenuhi syarat ambang batas itu, dibutuhkan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional. Berpedoman pada Pemilu Legislatif sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hanya memperoleh 8,21%, sedangkan Partai Demokrat hanya 7,77%, bahkan gabungan kedua partai politik itu pun tidak memenuhi ketentuan Pasal 222 UU Pemilu.
Sementara Pemohon II pernah ditunjuk oleh Partai Buruh sebagai bakal calon legislatif DPR untuk Pemilihan Umum 2024 dari daerah pemilihan Kalimantan Tengah. Akibat sistem pemilihan umum dengan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, Pemohon II berpotensi mengalami kerugian apabila warga dalam daerah pemilihan, pendukung, dan calon konstituen menanyakan alasan partainya tergabung dalam koalisi gabungan partai politik yang mendukung UU Cipta Kerja. Sedangkan Pemohon III membatalkan niat menjadi bakal calon legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum tahun 2024. Sebab, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tersebut dinilai memaksa Partai Buruh untuk bergabung dalam koalisi gabungan partai politik, jika ingin mengusung calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Sementara dengan tujuan ideologis dari Partai Buruh yang menolak UU Cipta Kerja, tidak mungkin bagi partai untuk berkoalisi dengan partai-partai yang dapat mengusung calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Oleh karena itu, Pemohon III mengalami kerugian karena batal menjadi bakal calon legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum pada 2024 mendatang.
Para Pemohon juga mengajukan provisi agar Majelis Hakim Konstitusi berkenan menjatuhkan putusan sebelum tanggal 19 Oktober 2023, memberikan waktu yang cukup bagi para pemohon, KPU dan Instansi terkait lainnya untuk mengadakan penyesuaian yang diperlukan atas hasil putusan a quo. Sementara dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Persyaratan pengusulan Pasangan Calon tidak diberlakukan bagi Partai Politik Peserta Pemilu yang belum pernah mengikuti Pemilu anggota DPR sebelumnya”. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha