JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemilihan presiden secara langsung yang dinilai rawan konflik dan memecah belah persatuan menjadi alasan Muhammad Yusuf Mansur dan Muhammad Fauzan meminta pembatalan Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya meminta agar Pasal 6 sesudah Perubahan UUD 1945 kembali kepada Pasal 6 sebelum Perubahan UUD 1945 yang menyatakan, “(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan suara yang terbanyak”.
Demikian isi permohonan Perkara Nomor 101/PUU/XXI/2023 yang dibacakan langsung oleh Muhammad Yusuf Mansyur yang hadir tanpa diwakili kuasa hukum pada Kamis (14/9/2023). Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, dan Enny Nurbaningsih menjadi Panel Hakim dari sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon mendalilkan kedua pasal dalam UUD 1945 tersebut melanggar hak konstitusionalnya. Pasal 6 UUD 1945 menyatakan,”(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Pasal 6A UUD 1945 menyatakan, “(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.”
Dalam permohonan para Pemohon menyatakan, berdasarkan amendemen pasal tersebut, Pemilihan Umum (Pemilu) terlihat mengalami perubahan dari perwakilan melalui Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) dengan suara terbanyak menjadi pemilihan langsung. Namun pada kenyataannya, pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung ini memiliki kelemahan, di antaranya rawan konflik antarkubu peserta pemilu dan tingginya biaya pengadaan pemilu. Selain itu, amendemen tersebut dinilai tidak mempertimbangkan sila ke-4 Pancasila. Pada butir Pancasila tersebut secara implisit dan ekplisit mengamanatkan kepemimpinan harus dipilih dengan musyawarah mufakat.
“Tidak ada kata musyawarah, mufakat, dan keterwakilan. Sebagai masyarakat biasa, kami menemukan banyak keterbelahan masyarakat dan bahkan mengancam persatuan dan kesatuan. Tidak ditemukan Pancasila hadir pada pasal perubahan ini. Sudah dua dekade pemilu secara langsung, banyak menimbulkan dampak negatif. Kami bergantung pada perputaran ekonomi dan karena ketidakjelasan politik hari ini, kami ingin pemulihan pasal ini sebagaimana sebelum perubahan,” sebut Yusuf yang berasal dari Madura.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan perubahan UUD 1945 pasal 6 serta pasal 6 huruf (A) beserta ayat yang terkandung didalam pasal perubahan pasal 6 dan pasal 6 huruf (A) karena tidak sesuaidengan Pancasila sila ke-4. Kemudian, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan turunan pasal 6 dan 6 huruf (A) yang termuat dalam perundang-undangan pemilu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pimpinan kepala Daerah. “Mengembalikan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta kepala Daerah melalui lembaga MPR,” tandas Yusuf.
Pahami PMK
Dalam nasihat Panel Hakim, Manahan mengatakan semangat tinggi Pemohon dalam mengajukan permohonan diharapkan diawali dengan membaca Peraturan MK untuk menyusun permohonan pengujian undang-undang. Selain itu, berdasarkan kewenangan MK maka atas permohonan ini tidak dapat dilakukan karena yang diujikan UUD 1945 terhadap Pembukaan UUD 1945.
“Yang diujikan antara UUD 1945 terhadap Pembukaan UUD 1945. Walaupun ada pasalnya Pasal 6 terhadap Pembukaan UUD 1945 itu sama saja. Tidak ada kewenangan Mahkamah untuk itu,” saran Manahan.
Sementara Enny dalam nasihatnya memberikan penekanan kepada Pemohon bahwa MK mengujikan undang-undang dengan UUD 1945. Mengenai dalil Pemohon, ia menegaskan pada Pembukaan UUD 1945 telah tersurat bunyi Pancasila, yang dinilai tidak tercermin pada pasal yang diujikan.
“Sehingga norma-norma yang ada di dalamnya telah menyiratkan itu. Jadi, seharusnya yang dilakukan menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Berikutnya setelah Pemohon memahami ini, sebenarnya permohonan MK itu sistematis dan jelas dengan batu ujinya UUD 1945,” jelas Enny.
Kemudian Daniel dalam nasihatnya menyebutkan, atas kekhawatiran Pemohon pada permohonan ini dinilai lebih tepat diajukan ke MPR. Sehingga kegelisahan bersama ini jika diajukan ke MK harus disesuaikan dengan ketentuan MK. Hal ini dapat dilihat dari laman mkri.id dari permohonan-permohonan yang pernah diputuskan MK. “Keinginan Pemohon ini lebih tepat ke MPR. Semangat ingin perubahan ini sangat baik, namun ini tidak sesuai dengan kewenangan MK,” sebut Daniel.
Pada akhir persidangan Daniel menyatakan permohonan diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Rabu, 27 September 2023 pukul 09.00 WIB. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana