JAKARTA, HUMAS MKRI – Perbedaan batas usia perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak (UUPA) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dian Leonaro Benny yang merupakan perseorangan warga negara mempersoalkan hal ini dengan menguji dua undang-undang tersebut. Ia tercatat menjadi Pemohon Perkara Nomor 99/PUU-XXI/2023 yang sidang perdananya digelar pada Rabu (13/9/2023). Sidang dengan Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo tersebut berlangsung di Ruang Sidang Panel MK.
Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU Perkawinan serta Pasal 1 ayat (1) UUPA merugikan hak konstitusional Pemohon. Pasal 7 ayat (2) UU perkawinan menyatakan, “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), otang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.” Sedangkan, Pasal 7 ayat (3) UU Perkawinan menyatakan, “Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.” Sementara Pasal 1 ayat (1) UUPA menyatakan, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Leon yang hadir langsung di Ruang Sidang Panel MK menyebutkan perubahan batas usia minimal untuk perkawinan yang akhirnya setara antara laki-laki dan perempuan, termasuk dispensasi menikah untuk anak di bawah umur telah dijabarkan pada Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017. Sehingga, secara yuridis laki-laki dan perempuan baru boleh diizinkan kawin apabila telah berumur 19 tahun, kecuali mendapatkan dispensasi dari lembaga yudisial dengan alasan yang kuat. Akan tetapi, lanjut Leon, MK dalam putusan tersebut tidak menetapkan makna dewasa untuk melangsungkan perkawinan. Sementara pada UUPA, ketentuan seseorang dikatakan dewasa setelah berusia 18 tahun.
Secara lebih konkret Leon menyebutkan, putusan MK tersebut kemudian berdampak pada meningkatnya pengajuan dispensasi kawin di pengadilan agama. Dari data yang disebutkan oleh Pemohon, pada Pengadilan Agama Kota Semarang hingga 13 November 2019 tercatat sudah 85 pengajuan dispensasi kawin. Sementara itu, di Pengadilan Agama Purwakarta selama 2019 tercatat 92 kasus permintaan dispensasi kawin. Akan tetapi, pada norma yang ada tidak disebutkan secara spesifik makna dari dispensasi tersebut. Pengertian dispensasi perkawinan sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin yang menyatakan,”Dispensasi kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/isteri yang belum berusia 19 (sembilan belas) tahun untuk melangsungkan perkawinan.” Selain pada dua norma tersebut, kontradiksi tentang batas umum minimal yang boleh diizinkan bagi laki-laki dan perempuan kawin terdapat pada Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
“Pada pemaknaannya terdapat klausa ‘dengan alasan sangat mendesak disertai bukti pendukung yang cukup’. Hal ini bisa menimbulkan kerugian konstitusional tidak benar-benar secara konkret menjelaskan di dalam penjelasan pasal yang dimaksud alasan mendesak dan bukti pendukung yang dimaksud seperti apa! Maka, Pemohon melihat jika ini tetap berlaku akan terjadi kerugian karena memperbolehkan perkawinan usia dini, padahal ini sudah diatur undang-undang perlindungan anak dan ini juga termasuk pada tindak pidana,” jelas Leon.
Secara sederhana, batas kerancuan dalam ketentuan hukum dan praktiknya ini bagi Pemohon terlihat pada pengajuan dispensasi perkawinan di Indonesia. Mayoritas masyarakat mengajukan ke Pengadilan Agama karena alasan kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas pada anak. Selain itu, alasan berikutnya berupa faktor ekonomi atau kemiskinan. Para orang tua menjodohkan anaknya dengan pria yang lebih tua dengan harapan dapat merigankan beban dalam keluarga. Demi menghindari keracuan hukum dan guna terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sinkron satu dengan yang lain, maka sudah sepatutnya dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan, khusunya dalam pasal-pasal terkait batas umur anak atau batasan dewasa maupun batasan umur bagi siapa yang dapat diizinkan untuk kawin, misalnya diseragamkan umur 18 atau 19 tahun. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan keberlakuan ketiga pasal yang diujikan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Kerugian Konstitusional
Atas uji materiil dua undang-undang tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adamsmenyebutkan penting secara umum untuk menerangkan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon yang disertai dengan bukti. Oleh sebab itu, rumusan elaborasi kerugian konstitusional sebaiknya tidak bernuansa asumsi.
“Jika asumsi tidak ada bukti, maka lampirkan buktinya yang diderita oleh Pemohon. Contohnya pada permohonan terlihat ada asumsi atau sekalipun kerugian yang potensial, diharapkan dipertajam dengan bukti,” saran Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihatnya menambahkan agar Pemohon berhati-hati dalam menyatakan dispensasi pada norma tersebut. Sejatinya hal tersebut menurut Suhartoyo merujuk pada orang tua calon mempelai, ketika calon tersebut belum memenuhi usia 19 tahun. Sementara Pemohon pada permohonan hanya menarasikan dalam konteks kehidupan sehari-hari yang dinilai masih bersinggungan dengan orang-orang yang berada di bawah umur, baik dalam konteks keluarga kandung atau atas alasan lainnya.
“Sejauh mana hak konsittusional Pemohon yang bukan usia 19 tahun lagi ini dan bukan orang tua dari calon mempelai. Meskipun sifat kerugian konstitusional ini bisa saja potensial, kalau dalam syariat Islam ada wali (wali nasab) dan bagaimana kalau di Kristen Protestan? Bagaimana mengelaborasi narasi di sini tanpa ada penegasan posisi Pemohon ada di mana? Sehingga, paling tidak ada kriteria yang masuk untuk memenuhi parameter antara keterkaitan hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya norma ini,” jelas Suhartoyo.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mencermati belum ada persoalan kerugian hak konstitusional yang dijelaskan pada permohonan. Dikatakan Enny, Pemohon bukanlah orang tua dari calon mempelai atau pihak yang akan melakukan perkawiann dengan calon di bawah umur.
“Apabila Pemohon khawatir dengan keluarga atau saudara yang melakukan perkawinan di bawah umur. Pada UU Perkawinan ada penjelasannya perlunya pembinaan pada keluarga, masyarakat, dan keluarga terdekat. Sehingga ini kedudukan hukum perlu ada perbaikan dan diharapkan dapat meyakinkan atas anggapan kerugian yang dinyatakan pada permohonan ini,” sampai Enny.
Pada penghujung persidangan, Enny mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Selanjutnya permohonan tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya Selasa, 26 September 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk kemudian akan ditetapkan agenda persidangan berikutnya yang akan diinformasikan kepada Pemohon. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina