JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), pada Selasa (12/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang, Leonardo Siahaan yang hadir secara daring menyampaikan pihaknya telah memperbaiki permohonannya meski belum sempurna. Leo merasa perlu untuk mendapatkan bimbingan dari panel hakim.
Dikatakan Leo, putusan MK bersifat positif legislator. Sebagai rujukan Pasal 11 UU Sisdiknas yang dimohonkan pengujian ini yaitu Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 yang mana di sana dimohonkan dua pasal yakni Pasal 28 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang mengatakan untuk menggunakan haknya sebagai WNI harus terdaftar sebagai pemilih, serta Pasal 111 yang sebetulnya dalam amar putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 tersebut bisa dikatakan menambah norma dari Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1).
“Artinya, bahwa putusan MK ini bersifat positif legislator dan karena ada putusan MK seperti ini saya berpandangan bahwa saya bisa mengajukan Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas terhadap permasalahan sistem zonasi penerimaan siswa baru. Saya berpikir bisa dibawa ke MK,” ujar Leonardo.
Menurutnya, proses pembentukan UU memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dapat segera mengisi waktu kekosongan hukum tersebut. MK sendiri menyadari perlu adanya penambahan norma
“Kemudian, saya melakukan komparasi putusan di luar negeri yang di mana contoh putusan tersebut adalah putusan Marburry vs Madison 1803,” terangnya.
Baca juga:
Siswa Trauma Akibat Sistem Zonasi PPDB
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 85/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diajukan oleh Leonardo Siahaan. mengajukan permohonan perkara pengujian Pasal 11 ayat (1) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan Leonardo dengan Nomor 85/PUU-XXI/2023.
Leonardo Siahaan (Pemohon) menguji Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahukuan yang digelar di MK pada Rabu (30/8/2023) Pemohon mendalilkan sistem zonasi penerimaan siswa baru membuat trauma siswa. Pemohon merupakan anak pertama dan memiliki dua adik kandung laki-laki. Kedua adiknya ini mengalami trauma ketika melakukan pendaftaran di sekolah negeri akibat sistem zonasi.
“Trauma ini muncul ketika melakukan pendaftaran di sekolah negeri yang jaraknya tidak jauh dari rumah Pemohon dan akhirnya adik kandung Pemohon atas keputusan orang tua Pemohon lebih memilih sekolah swasta. Sistem zonasi telah menyebabkan banyaknya masyarakat mengalami kerugian konstitusional yang bukan hanya terjadi pada dua adik kandung saya,” ujar Leo.
Leonardo menjelaskan aturan zonasi penerimaan siswa diatur dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Permendikbud 44/2019) lahir dari perwujudan Pasal 11 ayat (1) UU 20/2023. Pemohon tidak bisa melakukan uji materil Permendikbud 44/2019 ke Mahkamah Agung dikarenakan uji Materil di Mahkamah Agung harus membayar administrasi sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Sedangkan Leonardo mengaku tidak punya uang sebanyak itu, sehingga dia lebih memilih MK dalam menguji Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas karena pasal tersebut masih satu rumpun dengan Permendikbud 44/2019.
Menurutnya, sistem zonasi tersebut banyak kelemahan. Peta koordinatnya pun kurang tepat. Sistem ini mengutamakan ‘kedekatan jarak’ memanfaatkan aplikasi peta Google.
“Seringkali titik koordinat disebut tidak akurat sehingga menyebabkan calon murid gagal mengikuti PPDB,” tegasnya.
Selain itu, sistem zonasi rentan kelebihan kapasitas. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan evaluasi pelaksanaan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) di daerah, ditemukan fakta bahwa Pemerintah Daerah kesulitan melakukan pemetaan jumlah usia anak sekolah yang sedang mengikuti PPDB dan jumlah daya tampung yang tersedia di sekolah. Sehingga dalam penerapannya cukup sulit dilaksanakan PPDB dengan jalur zonasi dengan presentase yang cukup besar. Kemudian, sistem ini disinyalir justru melahirkan kecurangan baru, yaitu manipulasi Kartu Keluarga agar anak bisa memasuki sekolah unggulan.
Leonardo dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranva pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi dan melarang penerimaan peserta didik melalui sistem zonasi atau kebijakan lainnya yang menimbulkan kesulitan peserta didik memperoleh pendidikan.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha