JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima audiensi International Foundation for Electoral Systems (IFES) yang diwakili oleh Wakil Presiden IFES Katherine Ellena, pada Senin (11/9/2023) di Gedung I MK. Audiensi tersebut diterima langsung oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelola Perpustakaan Pan Mohamad Faiz serta dihadiri oleh beberapa pegawai lainnya baik secara luring maupun daring.
Dalam kegiatan tersebut, Katherine Ellena memaparkan materi mengenai perbandingan kewenangan peradilan Pemilu utamanya terkait pembatalan Pemilu oleh lembaga peradilan. Menurutnya, kewenangan membatalkan Pemilu telah dimiliki oleh hampir sebagian besar lembaga peradilan di dunia. Namun, pendekatan dalam pengambilan keputusan terkait pembatalan Pemilu, berbeda antara satu negara dengan negara lain.
Katherine membaginya ke dalam tiga pendekatan, yakni pendekatan preskriptif, pendekatan-yang-menitikberatkan-pada-hasil, serta pendekatan campuran. Ia menyebut pendekatan preskriptif (prescriptive approach) terkait dengan pembatalan Pemilu dikarenakan adanya sejumlah pelanggaran tanpa mempertimbangkan dampak terhadap hasil Pemilu. Ia memberikan contoh Peradilan Meksiko yang menerapkan pendekatan ini.
“Keuntungan penerapan pendekatan ini adalah mengedepankan kemudahan, tapi bisa menjadi masalah jika pelanggaran yang terjadi tidak begitu berdampak pada hasil Pemilu,” ucap Katherine.
Selain pendekatan prespektif, Katherine juga menjelaskan mengenai pendekatan-yang-menitikberatkan-pada-hasil (determinative approach). Bagi negara yang menganut sistem ini, maka lembaga peradilannya melihat seberapa besar pengaruh pelanggaran yang terjadi terhadap hasil Pemilu.
“Pendekatan ini melihat perolehan suara yang terdampak oleh pelanggaran yang terjadi. Sederhananya, pendekatan ini membandingkan antara jumlah suara yang dihasilkan melalui pelanggaran dengan jumlah suara yang dihasilkan oleh para peserta Pemilu,” urai Katherine.
Untuk pendekatan tersebut, Katherine memberikan contoh MK Austria yang telah menerapkan pendekatan-yang-menitikberatkan-pada-hasil (determinative approach). Ia mengatakan terkadang pendekatan ini disebut dengan aturan “angka ajaib” kala pendekatan ini digunakan untuk membatalkan hasil Pemilu tahap kedua pada 2016 silam.
“Namun, Mahkamah Agung Kanada menilai pendekatan ini potensial bermasalah terutama terkait aturan ‘angka ajaib’. Karena suara dari pemilih yang melakukan pelanggaran akan diberikan kepada peserta pemilu yang kalah suara. Padahal bisa saja dalam kenyataannya di lapangan, suara tersebut milik peserta pemilu lainnya. Maka, pendekatan ini bisa saja menjadi tidak akurat,” ucap Katherine.
Terakhir, Katherine menjelaskan mengenai pendekatan campuran yang salah satunya diterapkan oleh Kenya pada 2017 dan 2020 silam. Pada 2017, Kenya menganulir hasil pemilihan presiden dengan menggunakan pendekatan campuran. Namun, lanjutnya, Kenya tidak sampai membatalkan hasil pemilihan presiden pada 2020.
“Pada 2017, Kenya menerapkan pendekatan campuran ini dengan pertimbangan jika pemilu dilakukan dengan berbagai penyimpang serta tidak sesuai dengan undang-undang, maka pemilu tersebut dirugikan, terlepas dari apakah hasilnya terpengaruh atau tidak. Hal ini ditunjukkan oleh kasus Hackney, dimana dua dari 19 TPS ditutup sepanjang hari, dan 5.000 pemilih tidak dapat memilih,” imbuh Katherine.
Batas Waktu Ideal
Usai memaparkan materi, sejumlah pertanyaan diajukan. Salah satunya ditanyakan oleh Panitera Pengganti Hani Adhani yang mempertanyakan mengenai batas waktu dalam mengadili sengketa hasil pemilu. Seperti diketahui, MK Indonesia diberikan waktu hanya selama 14 hari untuk menyelesaikan sengketa Pilpres, sedangkan untuk sengketa Pileg, MK hanya diberikan waktu 30 hari. “Menurut Anda, apakah waktu tersebut cukup atau ideal?” tanyanya.
Menjawab pertanyaan ini, Katherine mengungkapkan lembaga peradilan di bawah tekanan dengan adanya batasan waktu tersebut dalam menangani sengketa pemilu yang rumit. Namun, ia menyebut beberapa negara yang dicontohkannya bahkan ada yang hanya diberikan waktu tiga hari bagi lembaga peradilan untuk menyelesaikan sengketa Pemilu.
“Kenya memiliki batasan waktu yang sama dengan MK Indonesia, yakni 14 hari. Mahkamah Agung Kenya mengajukan perubahan terhadap hal ini kepada parlemen dengan mengajukan waktu 30 hari untuk menyelesaikan sengketa Pilpres dan enam bulan untuk menyelesaikan sengketa Pileg. Saya sendiri berpendapat 14 hari tidaklah cukup untuk menangani sengketa Pemilu yang biasanya rumit. Batas waktu 30 hari untuk menyelesaikan sengketa Pilpres lebih masuk akal asalkan MK Indonesia memberikan informasi yang cukup kepada publik terkait perkembangan kasus yang sedang ditangani,” tandas Katherine. (*)
Penulis: Utami Argawati/LAP
Editor: Lulu Anjarsari P.