JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketiadaan batasan periode kerja bagi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten /Kota serta bakal calon anggota DPD dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 98/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Andi Redani Suryanata. Pemohon merupakan seorang mahasiswa yang menguji norma Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UU Pemilu. Pada dasarnya, kedua norma mengatur tentang persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten /Kota serta ketentuan pendaftaran bakal calon anggota DPD melalui KPU Provinsi.
Sidang perdana perkara ini digelar pada Senin (11/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta Wakil Ketua MK Saldi Isra. M. Hafidh Al Zikri selaku kuasa pemohon dalam persidangan menyampaikan Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UU Pemilu harus dimaknai bahwa pembatasan periode kerja Anggota DPR, DPD, dan DPRD sama pentingnya dengan pembatasan periode kerja Presiden/Wakil Presiden.
Menurut Hafidh, negara Indonesia merupakan suatu negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, konsekuensi yang timbul ialah setiap sikap, perilaku alat negara, kebijakan dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Hukum sejatinya hadir untuk mengatur agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk. Sehingga penyelenggaraan kekuasaan oleh pemimpin dapat dilaksanakan dalam koridor hukum yang berlaku.
“Hal yang demikian berlaku pula terhadap DPR, DPD, dan DPRD yang harus berdasar pada aturan, prinsip, dan asas-asas hukum yang berlaku. Hal ini juga perlu diterapkan dalam mengatur pembatasan periodisasi kerja anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pemimpin dalam pengertian luas adalah seorang yang memimpin dengan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisasi, mengontrol usaha ataupun upaya orang lain melalui prestise, kekuasaan ataupun posisi,” terang Hafidh.
Hafidh menegaskan, rendahnya kualitas, integritas, kompetensi/kapabilitas hingga membuka peluang besar untuk korupsi kolusi nepotisme selaku lembaga negara legislatif disebabkan peraturan Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UU Pemilu yang tidak mencantumkan pembatasan periodisasi sebagai persyaratan bakal calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Berdasarkan dalil tersebut di atas, sambungnya, maka Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UU Pemilu harus menyatakan dengan tegas agar syarat pemilihan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD mencantumkan adanya batasan periodisasi, yaitu hanya dibolehkan menjabat dalam jabatan yang sama selama 2 (dua) periode saja. Hal ini supaya periode kerja anggota legislatif sama pentingnya dengan periode kerja presiden/wakil Presiden (eksekutif), agar mencegah keabsolutan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kuasa hukum Pemohon lainnya, yakni Henna Hanjaya menyebut ketiadaan Pembatasan Periodisasi pada Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Bertentangan dengan Prinsip Kesetaraan dan Kesempatan yang Adil untuk Berpartisipasi Sebagai Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang Dijamin Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Menurut pemohon, selain membatasi hak-hak konstitutional warga negara, pembatasan periodisasi menjadi hal penting karena keadaan lembaga negara saat ini. Tidak adanya jaminan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan, yang salah satu faktor penyebabnya ialah kurangnya inovasi dan pembaharuan bagi lembaga negara dalam menjalankan pemerintahan. Kenyataan ini sejalan dengan pandangan Giovanni Sartori yang menyatakan, masalah dalam sistem pemerintahan presidensial bukan terletak di lingkungan kekuasaan eksekutif, tetapi lebih pada kekuasaan legislatif; ketentuan tersebut di atas menjadi landasan hukum bagi penyelenggaraan pemilu sebagai wadah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Oleh karena penyelenggaraan pemilu ditujukan sebagai sarana mengisi jabatan-jabatan politik, yaitu pimpinan legislatif yang terdiri dari DPR, DPD, dan DPRD. Maka, proses penyelenggaraan pemilu harus dilakukan melalui mekanisme, prosedur, dan penyelenggara yang berkualitas.
Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum apabila tidak dimaknai “Syarat calon anggota DPR, DPD, dan DPRD hanya memegang jabatan paling lama 2 (dua) periode dan sesudahnya tidak dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama”.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan tHakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon untuk membaca PMK 2/2021 mengenai hukum acara pengujian undang-undang. Kemudian, Enny juga menyarankan pemohon untuk memperhatikan terkait syarat-syarat kerugian konstitusional.
“Hanya persoalannya yang dikutip itu harus dijelaskan, apa hak yang diberikan oleh UUD kepada prinsipal itu. Itu dijelaskan terlebih dahulu. Terus dijelaskan, apakah benar hak yang diberikan oleh UUD itu memang dianggap oleh prinsipal saudara atau pemohon dirugikan akibat berlakunya kedua norma. Nah itu coba nanti dipelajari betul-betul, direnungkan apakah memang Pasal 182 ini dan pasal 240 tentang persyaratan calon DPR, DPD dan DPRD merugikan pemohon. Coba saudara pikirkan disitu, apakah memang ada kerugian,” tegas Enny.
Sementara Wakil Ketua MK Saldi Isra meminta Pemohon untuk menjelaskan pada adanya kerugian konstitusional yang dialami Pemohon dengan berlakunya kedua pasal yang diuji terutama terkait hak memilih dan dipilih.
“Kalau tidak kehilangan hak konstitusional gara-gara itu ya artinya tidak ada kerugian hak konstitusional Saudara. Kalau misalnya dua norma itu kehilangan hak untuk dicalonkan, ini tidak kehilangan atau Anda tidak kehilangan hak untuk memilih gak ada kehilangan. Nah bagaimana untuk menjelaskan, tugas Saudara menjelaskan bahwa ada kerugian hak konstitusional misalnya tadi dikatakan peluang untuk dipilih menjadi berkurang,” terang Saldi.
Di akhir persidangan Majelis Hakim Panel memberikan waktu 14 hari untuk pemohon memperbaiki permohonannya. Adapun batas paling lambat menyerahkan kepada Kepaniteraan MK pada Senin, 25 September 2023.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha