MALANG, HUMAS MKRI - Ketentuan yang termuat pada Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur tentang syarat perolehan kursi DPR dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, menjadi salah satu perkara yang mendapatkan perhatian publik yang tinggi yang diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Demikian dikatakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sambutan kegiatan Constitutional Law Festival 2023 (CLFest 2023) yang dilaksanakan oleh Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada Minggu (10/9/2023). Tema yang diangkat pada rangkaian kegiatan tahunan kali ini yakni “Meninjau Parliamentary dan Presidential Threshold pada Pemilu 2024 sebagai Aktualisasi Negara Demokrasi.”
Berbicara persoalan parliamentary dan presidential threshold, Anwar menegaskan, MK pada beberapa putusannya menyatakan hal demikian menjadi ranah kebijakan hukum yang bersifat terbuka. Atas hal ini pula Mahkamah pada putusan-putusan tersebut setidaknya melandaskan argumentasi hukum pada dua hal pokok, yakni hendak penyederhanaan partai dan melakukan penguatan sistem presidensiil. MK dalam Putusan Perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 dan putusan-putusan setelahnya, sambung Anwar, melakukan reformulasi pemaknaan Pasal 6A dan Pasal 22E UUD 1945. “Hal ini selanjutnya berimplikasi pada pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden dilakukan secara serentak. Tujuannya, guna memperkuat sistem presidensiil sesuai rancang bangun sistem ketatanegaraan yang ada pada UUD 1945 pasca-perubahan,” sebut Anwar.
Namun demikian dari beberapa hal yang dirumuskan tersebut, Anwar mengatakan, hal terpenting yang harus dipahami adalah tidak semua perbedaan pandangan politik yang bermuara pada rumusan ketentuan norma undang-undang harus diputuskan melalui MK. Anwar menyerukan langkah lebih bijaksana dari perbedaan pandangan politik tersebut sebaiknya ditempuh melalui musyawarah. Dikatakan Anwar bahwa tak tertutup kemungkinan perbedaan pandangan politik terhadap parliamentary dan presidential threshold ini menjadi agenda dan bahkan kebijakan politik yang oleh partai politik dapat ditawarkan kepada masyarakat.
“Melalui pemilu nantinyalah rakyat dapat menentukan, melakukan penawaran, dan mengajukan program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Adanya keterlibatan MK dalam berbagai perbedaan pandangan politik, yang seharusnya dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat ini, memicu terjadinya judicial tirany dalam proses politik,” tegas Anwar.
Ole karenanya, Anwar menyatakan hal demikian seharusnya dapat dihindari demi menciptakan iklim demokrasi yang sehat di tengah masyarakat. Lagi-lagi menurutnya, perbedaan pandangan politik di dalam desain dan sitem pemilu ini harus disikapi dengan bijaksana. Salah satunya dalam diskusi publik, sehingga perbedaan pandangan yang ada tersebut dapat kemudian menjadi bagian pematangan dan pembelajaran politik bagi publik. Sehingga kehidupan demokrasi di masa mendatang dapat menjadi lebih baik lagi. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.