LAMPUNG, HUMAS MKRI - Penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang Iebih tinggi atau Iebih Iuas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi).
Hal tersebut disampaikan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh saat memberikan kuliah umum kepada Civitas Akademika Institut Teknologi Sumatera (ITERA), Provinsi Lampung, pada Jumat (08/09/2023).
Daniel menjelaskan, jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan.
Berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.
“Jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar,” tegas Daniel.
Namun, sambungnya, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka negara c.q. Pemerintah, tetap diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi dimaksud.
Perkembangan Hukum Agraria
Dalam kuliah umum ini, Daniel juga memaparkan pengertian “Agraria” dalam UUPA hakikatnya adalah sama dengan pengertian “ruang” dalam Undang-Undang No.26/2007.
Hukum Agraria (Agrarisch recht) adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata, maupun Hukum Tata Negara (staatsrecht) maupun pula Hukum Tata Usaha Negara (administratief recht) yang mengatur hubungan antara orang. Termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.
Tanah dan Hak atas Tanah Berdasar UUPA
Dalam Hukum Tanah, negara-negara yang menggunakan apa yang disebut “Azas Accessie” atau “Asas perlekatan”, bangunan dan tanaman yang ada di atas dan merupakan satu kesatuan dengan tanah, merupakan “bagian” dari tanah yang bersangkutan. Perbuatan hukum mengenai tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga tanaman dan bangunan yang ada di atasnya.
Menurut Daniel, Hukum Tanah kita menggunakan asas Hukum Adat yang disebut asas pemisahan horizontal (dalam bahasa Belanda disebut: “horizontale scheiding”). Bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah. Maka hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
“Perbuatan hukum yang dilakukan bisa meliputi tanahnya saja. Atau hanya meliputi bangunan dan/atau tanamannya saja, yang kemudian dibongkar (“adol bedol”) atau tetap berada di atas tanah yang bersangkutan (“adol ngebregi”). Perbuatan hukumnya pun bisa juga meliputi tanah berikut bangunan dan/atau tanaman keras yang ada di atasnya, dalam hal mana apa yang dimaksudkan itu wajib secara tegas dinyatakan,” tegas Daniel.
Tafsir MK
Daniel dalam presentasi kuliah umum ini juga memaparkan tafsir MK dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan. Dalam putusan tersebut Mahkamah berpendapat bahwa untuk menyelamatkan dan melindungi serta mengembangkan lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan bangsa agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang beraspek komersial maupun non-komersial sebagai wujud penguasaan negara, sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial.
Keterangan ahli yang diajukan Pemohon dalam persidangan telah menjelaskan pengalaman empiris yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945
Selain itu, Mahkamah juga berpendapat pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh mengelola usaha tenaga listrik. Sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerja sama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain.
Persoalannya adalah, apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah dapat dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan dapat lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN. Tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”.
Penulis: utami Argawati.
Editor: Nur R.