JAKARTA, HUMAS MKRI - Lagi-lagi ketentuan mengenai batas minimal usia pencalonan presiden dan wakil presiden yang termuat pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) diujikan ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis (7/9/2023). Dalam sidang ini, permohonan diajukan oleh Arkaan Wahyu (Mahasiswa FH Universitas Sebelas Maret Surakarta) melalui Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023; Guy Rangga Boro sebagai perseorangan warga negara dalam Perkara Nomor 93/PUU-XXI/2023; dan Riko Andi Sinaga sebagai perseorangan warga negara dalam Perkara Nomor 96/PUU-XXI/2023. Sidang perdana atas tiga permohonan ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK oleh Majelis Sidang Panel, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Utomo Kurniawan dan Ilyas Satria Agung selaku kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 menyebutkan kualitas dan kompetensi kepemimpinan tidak berkorelasi dengan usia seorang pemimpin. Pemohon mengilustrasikan dengan perbandingan, bahwa seseorang yang berusia 40 tahun dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden tanpa adanya pengalaman, sementara seseorang berusia 21 tahun saat ini telah menjadi pemimpin di tingkat daerah selama beberapa tahun dan memimpin perusahaan. Sehingga dalam penalaran yang wajar, Pemohon melihat patut dinilai kepemimpinan seseorang yang berusia lebih muda tersebut lebih baik dari yang berusia 40 tahun. Terbukanya peluang masyarakat yang berusia sekurang-kurangnya 21 tahun untuk menjadi capres dan cawapres tidak akan mengakibatkan masyarakat pemimpin yang tidak kompeten. Sebab, usia hanya membuka kesempatan bagi seluruh warga negara Indonesia untuk dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
“Pemohon dengan ini memohon kepada Majelis Hakim memutus permohonan dengan amar mengubah materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu dalam persyaratan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden yang semula berusia paling rendah 40 tahun menjadi sekurang-kurangnya berusia 21 tahun,“ sampai Ilyas yang membacakan permohonan dan menghadiri persidangan secara daring.
Pengalaman Pemimpin
Berikutnya Riko Andi Sinaga sebagai perseorangan warga negara dalam permohonan perkara Nomor 96/PUU-XXI/2023 ini memiliki hak untuk dipilih dan memillih dalam pemilu. Melalui Purgatorio Siahaan (kuasa hukum Pemohon) mengatakan, akibat adanya pembatasan pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu tersebut, Pemohon tidak dapat mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres. Dengan demikian hak persamaan Pemohon telah ditiadakan dengan berlakunya aturan yang bersifat diskriminatif tersebut. Pada permohonannya, Pemohon menyebutkan beberapa negara seperti Argentina, Kolombia, mensyaratkan usia 30 tahun unutk dapat menjadi capres dan cawapres negaranya. Lebih muda lagi ada Prancis yang mensyaratkan usia 18 tahun dapat dijadikan usia untuk mengajukan diri sebagai pemimpin negara. sementara di Indonesia sendiri, Pemohon menuliskan beberapa kepala daerah yang berusia muda yang menunjukkan pengalamannya dalam memimpin dengan beban kerjanya yang dinilai tidak berbeda jauh dengan beban kerja presiden dan wakil presiden.
“Berdasarkan dalil-dalil Pemohon memohon agar Mahkamah memutus perkara dengan amar putusan menyatakan frasa ‘berusia paling rendah 40 tahun’ dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 25 tahun’,” ucap Purgatorio yang menghadiri persidangan secara langsung dari Ruang Sidang Pleno MK.
Dewasa Menurut Hukum
Sementara Guy Rangga Boro sebagai perseorangan warga negara dalam permohonan perkara Nomor 93/PUU-XXI/2023 yang hadir sendiri menyampaikan bahwa perseorangan warga negara yang telah berusia dewasa menurut hukum harus diberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Dengan adanya batasan usia setidaknya 40 tahun sebagai capres dan cawapres atas dasar apapun hal demikian termasuk perlakuan yang bersifat diskriminatif. Untuk menguatkan dalil atas ketentuan batas minimum usia ini, Pemohon menyajikan perbandingan sejumlah perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait batas usia untuk menduduki suatu jabatan, misalnya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, usia dewasa adalah di atas 18 tahun; KUHPerdata yang menyebutkan dewasa adalah mereka yang mencapai umur genap 21 tahun dan kawin sebelumnya; Keputusan Mendagri Nomor Dpt.7/539/7-77 tertanggal 13-7-1977 mengenai soal dewasa dapat diadakan pembuatan dalam: a. dewasa politik, misalnya adalah batas umum 17 tahun untuk dapat ikut pemilu, …, c. dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.
Anggapan Kerugian
Hakim Konstitusi Manahan dalam nasihat Majelis Sidang Panel memberikan arahan kepada Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 untuk memperhatikan alasan permohonan yang didasarkan kepada umur anggota parlemen 21 tahun. Sehingga perlu dibuatkan perbandingan antara pertentangannya dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Dengan demikian pada petitum perlu diperjelas dan ketegasan, pada satu sisi redaksinya mengubah karena ini bukan kewenangan MK tetapi DPR. Lihat lagi petitum 2 dan 3 jelas bertentangan, agar tidak bertentangan perlu dipikirkan baiknya,” jelas Manahan.
Untuk permohonan perkara Nomor 96/PUU-XXI/2023, Manahan menasihati agar Pemohon menguraikan anggapan kerugian yang bersifat potensial dan faktual pada bagian legal standing. Kemudian terhadap pasal-pasal yang dijadikan dasar pengujian, Pemohon harus berhati-hati dan perlu membuktikan relevansi pertentangan norma dengan ketentuan pada konstitusi yang menjamin hak-hak konstitusionalnya.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan catatan kepada Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 mengenai relasi kerugian konstitusional yang dialami, mengingat Pemohon meminta agar dijadikan 21 tahun sementara saat pengajuan permohonan pihaknya belum berusia sebagaimana dimohonkan pada Mahkamah.
“Pemohon dalam permohonan lainnya juga ingin mencalonkan diri sebagai calon presiden. Lain halnya dengan sebagai pemilih, ini adakeinginan varian untuk pilihannya dan ini lebih fleksibel. Kalau dasarnya ingin menjadi presiden, ini bagi yang usia 21 atau 25 ini tidak adil karena semakin banyak pilihan maka akan semakin banyak kompetitor,” jelas Suhartoyo.
Sementara Wakil Ketua MK Saldi meminta agar para Pemohon atas 3 perkara ini memberikan argumentasi dari usia-usia yang dikehendaki sebagai ketentuan usia pencalonan presiden dan wakil presiden. “Kenapa usia tidak 21 tahun bertentangan dengan UUD 1945, yang 25 tahun maka carikan alasannya, ini nanti hakim akan menilai ini,” jelas Saldi.
Sebelum mengakhiri persidangan, Saldi menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Selambat-lambatnya permohonan dapat disampaikan pada Rabu, 20 September 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk pelaksanaan sidang selanjutnya akan disampaikan kemudian kepada para pihak. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha