JAKARTA, HUMAS MKRI - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) merupakan wujud nyata dikresi presiden. Hal ini disampaikan oleh I Gde Pantja Astawa yang dihadirkan DPR dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023. SIdang dari perkara yang diajukan oleh 15 serikat atau federasi pekerja tersebut digelar pada Kamis (7/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Sebagai Ahli, Astawa dalam keterangannya mengatakan, ‘hal ihwal kegentingan kegentingan yang memaksa’ merupakan keadaan tidak normal yang menjadi dasar alasan Presiden menerbitkan Perppu. Terkait dengan keberadaan Pasal 22 UUD 1945, wewenang istimewa Presiden tersebut bersumber dari kewenangan bebas yang melahirkan kebebasan untuk mengambil kebijakan atas inisiatif sendiri guna membuat suatu peraturan--dalam hal ini menerbitkan Perppu.
“Jadi, dalam memaknai ‘hal ihwal kegentingan kegentingan yang memaksa’ atau keadaan tidak normal yang menjadi dasar alasan Presiden menerbitkan Perppu, harus dikembalikan sepenuhnya kepada kebebasan Presiden di dalam memberikan pertimbangan atau mempertimbangkan, memilih, menilai, menduga, dan memperkirakan hal-hal yang dikategorikan sebagai ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’/keadaan tidak normal. Atas dasar pemikiran itu, sangat tepat dan beralasan Presiden memberikan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana yang dituangkan ke dalam konsideran Menimbang pada Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, Perppu ini wujud nyata ataupun contoh diskresi Presiden sebagai administrasi negara,” jelas Astawa.
Tidak Menentukan Batas Waktu
Selanjutnya sehubungan dengan perintah dari ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Astawa mencermati ketentuan yang ada pada norma tersebut tidak dapat dimaknai bahwa DPR hanya bersifat pasif atau bertindak sebagai “rubber stamp”. Sebab, DPR dapat menolak atau menyetujui sesuai dengan alasan-alasan yang menyertai penerbitan norma yang dimaksudkan. Selaras dengan hal ini, terhadap pemaknaan frasa ‘dalam persidangan berikut’ bahwa pembentukan undang-undang tidak menentukan batas waktu yang terkait dengan kapan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pengajuan Perppu dalam setiap persidangan di DPR.
Adapun menyoal Penjelasan Pasal 52 UU Nomor 12 Tahun 2011, Pantja berpendapat norma tersebut bukanlah norma sehingga tidak memiliki legal binding seperti halnya norma yang ada dalam batang tubuh undang-undang. Sama halnya dengan pemaknaan kata ‘secepatnya’ terhadap waktu pengajuan Perppu ke dalam persidangan DPR.
“Oleh karenanya, untuk menyelesaikan silang pendapat antara para Pemohon dan DPR dalam memaknai frasa ‘dalam persidangan berikut’ sebaiknya dikembalikan sepenuhnya kepada MK sebagai The Sole Enterpreter of Constition,” terang Pantja yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung.
Hukum Tata Negara Darurat
Ahli berikut yang dihadirkan DPR, Satya Arinanto menyampaikan pandangannya sehubungan dengan kesiagaan negara dalam kondisi krisis untuk menetapkan peraturan perundang-undangan untuk melegimasi keberlakuan hukum tata negara. Kewenangan dalam bidang state of emergency ini memberikan kebolehan bagi Pemerintah untuk menunda sementara hak-hak warga negara selama masa darurat berlangsung. Di samping itu, ada pula pengaturan dalam konstitusi yang memberikan ruang untuk membangun pendekatan check and balances yang berbeda dengan kondisi normal.
Oleh karenanya, Satya menyebutkan terhadap pengertian frasa “kegentingan yang memaksa” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22 UUD 1945 tidak selalu harus ditafsirkan sebagai kegentingan yang memaksa dalam perspektif/aspek politik. Akan tetapi dapat juga didasarkan pada perspektif ekonomi, sebagaimana aspek yang menjadi landasan penerbitan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu.
“Dengan demikian penetapan Perppu Cipta Kerja tersebut tetap memenuhi unsur 'kegentingan yang memaksa' di mana memang ancaman resesi ekonomi global yang sudah diprediksi akan terjadi. Serta adanya stagnasi dan ketidakpastian dalam implementasi pascaputusan MK yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Sehingga hal ini perlu ditanggulangi, agar tidak berdampak negatif bagi perekonomiann nasional,” terang Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini yang hadir secara langsung di Gedung MK.
Keterangan Saksi DPR
Berikutnya, Raden Pardede memberikan kesaksian sebagai ekonom yang diundang dalam proses rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Legislasi DPR RI dalam rangka pembahasan rancangan undang-undang (Perppu 2/2022). Rapat ini diceritakan Raden dilaksanakan pada 14 Februari 2023 di Ruang Rapat Baleg DPR RI, Gedung Nusntara I, Jakarta. Pada kesempatan tersebut, Raden menjelaskan perlunya Perppu Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang, karena situasi genting ekonomi dunia yang didasarkan pada kondisi ekonomi global pada saat itu, perlunya upaya negara dalam melakukan pencegahan krisis akibat dinamika ekonomi dan geopolitik global.
“Dari catatan saya, seluruh narasumber yang diundang sepakat dan saling melengkapi hasil studi serta kajian satu sama lainnya di mana terdapat urgensi pengesahan Perppu Cipta Kerja, bagi kepentingan ekonomi negara. Yakni, menghindari dan memitigasi krisis akibat gejolak ekonomi global. Pengesahan undang-undang ini selanjutnya perlu diikuti dengan kelengkapan regulasi pendukung berupa PP atau Perpres agar implementasi undnag-undang cipta kerja dapat berjalan dengan efektif,” ujar senior ekonom ini.
Sementara Dzulfian Syafrian (peneliti ekonomi di Institute for Development of Economics and Finance) menceritakan hal-hal yang disampaikannya saat menghadiri RDPU Badan Legislasi DPR RI dalam rangka pembahasan rancangan undang-undang Cipta Kerja. Pada rapat tersebut, Ia menyampaikan pemikiran terkait kluster UMKM yang termuat dalam RUU tersebut. Menurut Dzulfian, kluster pembahasan yang disampaikannya ini menjadi salah satu terobosan hukum penting dan jenius yang dilakukan oleh UU Cipta Kerja dalam menjawab permasalahan struktural UMKM yaitu tantangan formalitas usaha.
Baca juga:
Disahkan pada Masa Reses, UU Cipta Kerja Diuji Secara Formil
Serikat Pekerja Perbaiki Permohonan Uji Formil UU Cipta Kerja
Ahli : Pemerintah Justru Merevisi dan Tidak Memperbaiki Prosedural dari UU Cipta Kerja
Makna Lahirnya UU Cipta Kerja di Mata Pakar Hukum Ekonomi
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu (31/5/2023) tersebut, Pemohon mendalilkan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada UU P3. Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerja—yang semula merupakan Perppu Cipta Kerja—disahkan dalam masa reses. Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menjelaskan, ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia merupakan alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sangat tidak beralasan. Pemohon juga menegaskan pada permohonannya bahwa tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat. Terakhir, regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati. Maka lebih berbahaya lagi, tidak melaksanakan putusan MK berarti melanggar konstitusi adalah constitutional organ yang eksistensi dan fungsinya diatur dalam UUD 1945. Pelanggaran konstitusi adalah salah satu definisi “pengkhianatan terhadap negara” yang membuka pintu bagi proses pemakzulan presiden (impeachment). Sehingga Para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan tersebut. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina