JAKARTA, HUMAS MKRI - Almizan Ulfa yang merupakan pensiunan peneliti utama ASN Kementerian Keuangan kembali hadir dalam sidang kedua uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) pada Rabu (6/9/2023). Dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 82/PUU-XXI/2023 tersebut, Almizan menyampaikan poin-poin perbaikan permohonan. Sidang yang digelar di Ruang Sidang Panel MK ini dipimpin oleh Hakim Konsititusi Wahidudin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Perbaikan sistematika permohonan, petitum, dan dalil kerugian konstitusional yang dialami Pemohon menjadi hal-hal yang disempurnakan pada permohonan kedua ini. Almizan menyebutkan selaku dosen ia pun telah menyertakan bukti akan status hukumnya. Sementara itu terkait dengan profesi lainnya sebagai content creator pada beberapa media pun telah dilengkapi dengan bukti yang dibutuhkan dalam persidangan.
“Jadi kerugian konstitusional akibat berlakunya norma ini karena Pemohon kehilangan kesempatan untuk mendapat apresiasi dari pembentuk undang-undang. Sebab Pemohon gagal menjadi pakar atau narasumber dalam konsultasi publik tersebut. Hal ini bersumber dari norma pada pasal a quo yang melegalisasi para pembentuk undang-undang untuk tidak melaksanakan konsultasi publilk berdasarkan norma standar yang menghadirkan pastisipasi publik yang bermakna. Selain itu Pemohon juga telah gagal mencerdaskan diri dan bangsa karena tidak ikut dalam konsultasi publik tersebut dan kegiatan tersebut tidak dipublikasikan baik risalah maupun seminar prosidingnya,” jelas Almizan.
Baca juga: Konstitusionalitas Aturan Alur Partisipasi Publik dalam Penyusunan Pembentukan Undang-Undang Dipertanyakan
Dalam sidang sebelumnya, Almizan yang hadir tanpa kuasa hukum menyebutkan Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3 bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Pemohon mempertanyakan ketidakkonsistenan antara Pasal 96 ayat (1) dengan ayat (6), ayat (8), dan ayat (9) UU P3 dengan mencermati dua kata kunci ‘berhak’ dan ‘dapat’. Untuk memenuhi hak ini, Pemerintah wajib mendengarkan, mempertimbang, dan memberikan jawaban atas pendapat yang diberikan masyarakat, di antaranya melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi, kegiatan konsultasi publik. Namun atas adanya pilihan pada norma tersebut dapat bermakna multitafsir dan tidak memiliki kepastian hukum. Sebab pembentuk undang-undang dapat saja menggunakan salah satu dari pilihan yang ada tersebut saat melakukan penyusunan peraturan perundang-undangan. Justru hal yang dinilai perlu menurut Pemohon berupa prinsip-prinsip yang menjamin suara masyarakat didengar, dipertimbangkan, dan ditanggapi seefisien mungkin dalam satu jalur atau koridor yang efisien dan berkelanjutan hingga tercapainya tujuan pastisipasi publik. Untuk itu, dalam petitumnya, Almizan meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan konstitusionalitas bersyarat. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim