JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD 1945, digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (5/9/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang untuk Perkara Nomor 79/PUU-XXI/2023 kali ini beragendakan Pemeriksaan Perbaikan Permohonan perkara yang diajukan oleh Rega Felix.
Rega dalam sidang yang digelar secara luring menyampaikan perbaikan sesuai dengan nasihat Majelis Hakim dalam persidangan sebelumnya. Salah satunya, dalam perbaikan permohonan ini Rega menambahkan Pasal 6 huruf b dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi karena memuat frasa nilai agama yang sama dalam Pasal 8 ayat (2) dan penjelasan Pasal 3 huruf g.
“Lalu pada bagian kewenangan, Pemohon juga menjelaskan Pemohon membatasi objek norma yang diuji adalah pada bagian pasal-pasal batang tubuh maupun penjelasan frasa nilai-nilai agama sesungguhnya tersebar di bagian menimbang di pasal-pasal penjelasan umum maupun penjelasan pasal-pasal. Tetapi Pemohon tidak menguji bagian menimbang ataupun penjelasan umum dikarenakan bagian tersebut adalah wujud landasan filosofis, yuridis dari undang-undang yang umumnya memuat amanat dari konstitusi,” tegas Rega.
Kemudian, sambungnya, pada bagian alasan permohonan, Pemohon juga menambahkan pada poin dalil 31 sampai 34, yaitu soal perbedaan permohonan Pemohon dengan putusan MK yang terdahulu secara khusus Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 yang pada pokoknya permohonan ini menghapuskan norma pokok permohonan penodaan agama. Pada permohonan Pemohon tidak menghendaki untuk menghapuskan norma pokok undang-undang pencegahan penodaan agama.
Baca juga:
Kebebasan Akademik dan Bayang-Bayang Delik Pidana Penodaan Agama
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 79/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Rega Felix yang merupakan seorang Advokat dan Dosen Non PNS. Rega melakukan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD 1945.
Adapun materi yang diujikan oleh Rega antara lain yaitu Penjelasan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama. Kemudian Pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi, dan Penjelasan Pasal 3 huruf g UU Pendidikan Tinggi.
Pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi menyatakan, “Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika melalui pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia”.
Sedangkan Penjelasan Pasal 3 huruf g UU Pendidikan Tinggi menyatakan, “Yang dimaksud dengan "asas tanggung jawab" adalah Sivitas Akademika melaksanakan Tridharma serta mewujudkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan/atau otonomi keilmuan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa serta peraturan perundang-undangan”.
Rega Felix dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK pada Rabu (23/8/2023) menyampaikan hak konstitusionalnya atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani serta untuk menyatakan pikiran, sikap dan mengeluarkan pendapat demi kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia melalui lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan tanpa dibayangi ancaman ketakutan. Hak konstitusional bagi insan akademis ini dilindungi oleh Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
“Pemohon ternyata diterima menjadi tenaga dosen di satu universitas sehingga Pemohon akan menjadi bagian dari civitas academica. Sebagai civitas academica tentu kegiatan utamanya adalah mengajar dan mendidik yang dilakukan di muka umum. Sehingga dosen menjadi pihak yang rentan terkena delik pidana penodaan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama atau Pasal 156A KUHP,” terang Rega dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Menurutnya, penjelasan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama bersifat setengah-setengah dalam melindungi civitas academica karena memisahkan antara makna objektif dan ilmiah dengan kata-kata atau susunan kata-kata yang meliputinya. “Sehingga terdapat rasa takut mengembangkan ilmu pengetahuan karena sedikit (salah) dapat dilaporkan pidana akibat tidak jelasnya penafsiran pasal a quo,” ungkapnya.
Selain itu, jika Pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi dikaitkan dengan asas tanggung jawab dalam Pasal 3 huruf g UU Pendidikan Tinggi, dan asas tanggung jawab dikaitkan dengan tanggung jawab pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama, maka kekuasaan telah melakukan kontrol terhadap ilmu pengetahuan. Apabila negara benar-benar ingin menerapkan kebebasan akademik yang terbebas dari politik praktis, makna Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 seharusnya menjadi: “negara mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Oleh karena itu, Rega dalam petitumnya meminta MK menyatakan frasa “yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan,” dalam Penjelasan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Kemudian, Rega meminta MK menyatakan frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama” dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tanpa adanya ancaman dan pertanggungjawaban pidana bagi Sivitas Akademika untuk berbeda pendapat dengan pandangan umum keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat”.
Selain itu, menyatakan frasa “asas tanggung jawab” dalam penjelasan Pasal 3 huruf g UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tanpa adanya ancaman dan pertanggungjawaban pidana bagi Sivitas Akademika untuk berbeda pendapat dengan pandangan umum keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat”.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.