JAKARTA, HUMAS MKRI - Aturan pencatatan perkawinan bagi penduduk beragama non-Islam sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Harry Pratama yang merupakan perseorangan warga negara tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 89/PUU-XXI/2023. Sidang pertama ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Eny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Pasal 34 ayat (4) UU Adminduk menyatakan, “Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUAKec.” Sementara, Pasal 34 ayat (5) UU Adminduk menyatakan, “Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.” Pasal 34 ayat (6) UU Adminduk menyatakan, “Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil.”
Harry menceritakan berawal dari kasus konkret yang dialami saat Pemohon mengajukan Pencatatan Kependudukan untuk Pembuatan Akte Lahir Anak di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota (Didukcapil). Salah satu syarat yang harus dipenuhi berupa Lampiran Akta Nikah orang tua dari anak tersebut karena yang bersangkutan bergama Kristen (Nonmuslim), sedangkan bagi warga negara yang beragama Islam syarat demikian tidak diperlukan. Atas hal ini Pemohon merasa dirugikan dengan diskriminasi yang nyata diatur pada Pasal 34 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Adminduk.
Sederhananya, jika warga beragama Islam hanya perlu melampirkan Buku/Akta Nikah dari KUA Kecamatan akan langsung diproses dan dilakukan Pencatatan Kependudukan, sedangkan bagi warga nonmuslim harus membuat Akta Nikah Sipil lagi dari Dinas Dukcapil. Pasalnya Buku/Akta Nikah dari Gereja/Vihara/Pura dikatakan tidak berlaku untuk melakukan Pencatatan Kependudukan ke Pemerintah. Menurut instansi terkait, pernikahan/pemberkatan yang dilakukan tersebut hanya sebagai bukti warga tersebut menikah, tetapi tidak resmi di Pemerintah. Dengan kata lain, sambung Harry, kata tersebut dapat diartikan bahwa Pemerintah hanya mengakui pernikahan/pemberkatan warga nonmuslim, apabila instansi terkait telah menerbitkan Akta Nikah.
Menurut Pemohon hal ini suatu bentuk diskriminasi terselubung, bahkan sangat mengintimidasi hak warga. Ia mempertanyakan bagaimana bisa Pemerintah membuat kasta-kasta berupa syarat ke warga nonmuslim dengan tameng Pasal 34 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Adminduk ini. dalam pandnagannya dampak yang akan terjadi jika terdapat pembedaan dalam pengurusan suatu urusan di biro/instansi/kantor pemerintahan dilihat dari status agamanya adalah warga yang beragama nonmuslim akan kesulitan mendapatkan haknya sebagai warga negara. Dengan pembedaan tersebut, terlebih soal waktu yang sempit, maka timbul niat untuk menggunakan jasa makelar agar data kependudukan bisa terselesaikan. Pemohon menilai, Pemerintah itu sendiri yang membodohi warganya dengan menggunakan uang lalu masalah selesai.
“Saya selaku Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan menyatakan materi muatan Pasal 34 ayat (4), (5), (6) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang masih berlakunya Buku/Akta Nikah dari KUAkec dengan tidak diakui Buku/Akta Nikah dari Gereja/Vihara/Pura (harus nikah sipil) dalam Pencatatan Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota,” sebut Harry yang membacakan Petitum permohonan secara daring dari Pematang Siantar.
Implementasi Norma
Dalam nasihatnya, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan berdasarkan permohonan Pemohon perlu melakukan sejumlah perbaikan, di antaranya pasal yang didalilkan harus dipertautkan dengan dasar pengujian yang termuat pada konstitusi. Kemudian Pemohon juga perlu menjabarkan kewenangan MK dalam melakukan pengujian perkara yang dimohonkan dan uraian tentang kerugian konstitusional yang dialami dengan keberadaan norma yang diujikan.
“Apakah benar ini persoalan norma atau praktik di lapangan, karena dari bacaan saya harusnya tidak ada halangan mencatatkan dan dicatatkan di Adminduk dan kemudian mendapatkan hambatan ini persoalannnya apa? Kalau aturan Adminduknya, coba baca syarat yang kurang dari pencatatan akta lahir yang dimintakan ini,” sampai Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel dalam cermatannya meminta Pemohon untuk melihat lima permohonan terdahulu yang berkaitan dengan uji UU Adminduk. Sehingga Pemohon dapat mempedomani sistematika serta dalil-dalil yang terdapat pada permohonan tersebut yang dapat membanu saat menyusun perbaikan permohonan.
“Terkait dengan diskriminasi yang didalilkan Pemohon, diharapkan dapat dibaca Putusan MK Nomor 27/2007, 56/2012, 22/2018. Sebab pada permohonan belum ada keterkaitan norma dengan uraian kerugian konstitusional yang dialami Pemohon yang menjelaskan hak konstitusional yang disasar. Semoga Pemohon dapat meminta bantuan LBH untuk menguraikan hal ini lebih jelas duduk perkaranya karena ini seperti tidak ada persoalan konstitusionalitas norma,” jelas Suhartoyo.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Enny memberikan nasihat mengenai perlu nasihat memberikan argumen yang jelas pada bagian posita atas norma yang diujikan yang berkaitan dengan norma umum. “Adakah persoalan norma yang diujikan ini dengan Pasal 28D dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Jangan-jangan ini persoalan iomplementasi norma yang dialami Pemohon saja dalam pencatatan akta ini,” jelas Enny.
Pada akhir persidangan Hakim Konstitusi Enny menyebutkan Pemohon dapat memperbaiki permohonan selama 14 hari dan menyerahkan naskahnya selambat-lambatnya Senin, 18 September pada 2023 pukul 09.00 WIB. Untuk kemudian akan diagendakan persidangan selanjutnya oleh Kepaniteraan MK. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.