JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan atas tiga undang-undang sekaligus, yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh M. Yasin Djamaludin. Sidang kesepuluh dengan agenda mendengarkan keterangan dari dua orang Ahli dari Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) selaku Pihak Terkait, digelar pada Senin (4/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Fachrizal Afandi selaku Ahli yang dihadirkan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) ini menjelaskan lembaga baru yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana khusus, yakni Komnas HAM dan Jaksa Agung berdasarkan ketentuan Pasal 18 dan Pasal 21 UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; KPK berdasarkan Pasal 6 UU KPK; Penyidik TNI AL berdasarkan Pasal 73 ayat (1) UU Perikanan dan Pasal 340 UU Pelayaran; Badan Narkotika Nasional berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; dan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Pasal 49 ayat (5) UU Nomor 4 Tahun 2023.
Terkait dengan hal ini Fachrizal mengatakan berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf e UU Kejaksaan, adanya kewenangan Kejaksaan untuk pemeriksaan tambahan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik guna membuka ruang bagi Penuntut Umum dalam menyelesaikan sendiri penyidikan yang tidak kunjung dapat diselesaikan oleh penyidik. Peran ini kemudian dikembangkan melalui Pasal 39 huruf b Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pada norma ini memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melanjutkan penyidikan yang tidak dapat dilengkapi oleh Penyidik.
“Adanya pergeseran makna penyidikan ini tidak terlepas dari arti penuntutan yang dapat dilihat dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terutama dalam Pasal 132 KUHP, yakni penuntutan merupakan proses peradilan yang dimulai dari penyidikan. Artinya, tahap penuntutan tak terbatas pada kegiatan Jaksa Penuntut Umum dalam penuntutan di pengadilan, tetapi mencakup rangkaian proses penyidikan yang dilakukan penyidik dalam mencari alat bukti dalam persidangan pidana,” sampai Fachrizal Afandi yang juga merupakan akademisi hukum yang menekuni kajian hukum pidana, sistem peradilan pidana, dan studi sosio-legal, di hadapan Majelis Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dengan demikian, sambung Fachrizal, terhadap dalil yang dimohonkan Pemohon atas kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi pada Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ UU KPK telah sesuai dengan konstitusi.
Kolaborasi Penuntut Umum dan Kepolisian
Sementara itu Henning Rainer Glaser dari University of Münster, Jerman mengatakan sifat dan peran penuntutan berevolusi secara historis. Adanya penyusunan fungsi dan kewenangan dalam penuntutan berbeda oleh tiap negara. Awalnya bagi negara yang menggunakan common law system menerapkan pembatasan peran penyidikan oleh jaksa. Namun saat ini telah melimpahkan kewenangan penyidikan untuk penuntutan tidak hanya menyoal fungsi investigasi seperti yang diterapkan Swiss.
Selanjutnya Henning menjelaskan tentang hubungan Kejaksaan dengan Kepolisian dalam kewenangan penyidikan. “Sejauh ini hubungan antara penuntutan dan kepolisian dapat disusun sesuai ketentuan-ketentuan bagi masing-masing pihak yang sifatnya lebih kolaboratif, saling melengkapi, memberi saran, dan melakukan pengawasan,” sampai Henning dalam keterangan yang diterjemahkan oleh Indra Blanquita Danudiningrat dari Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK, Jakarta.
Kewenangan Penyidikan
Adapun dari meja hakim, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengajukan pertanyaan kepada dua ahli yang memberikan keterangan. Pertama, dalam beberapa literatur disebutkan Indonesia menekankan pada praduga tidak parsial. Oleh karena itu, sambung Suhartoyo, apabila dikaitkan dengan kewenangan penyidikan yang memisahkan penyidikan penuntutan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, maka dapat dilakukan upaya kolaboratif dan memberikan pengawasan. Akan tetapi pada di sisi lain, disebutkan pula jika penyidikan yang dilakukan lembaga satu atap lebih efektif.
“Apakah dalam konteks perlindungan HAM yang dikaitkan dengan prinsip akusator, mana yang lebih tepat dipergunakan penyidikan penuntutan bisa dilakukan penggabungan atau bisa dipisah ada jeda untuk ruang kontrol,” tanya Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mempertanyakan kewenangan penyidikan yang diberikan pada kejaksaan telah banyak, namun dari hal tersebut apakah kemudian kewenangan tersebut hanya diperbolehkan pada kasus tindak pidana korupsi atau perkara tertentu yang bersifat terbatas saja.
Selanjutnya Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan dalam konteks perbandingan bagaimana pengalaman MK Jerman dalam memutus hal yang berkaitan dengan multiple investigation bodies. “Kemudian dari keterangan tertulis Ahli, kira-kira negara mana saja yang melakukan kombinasi kewenangan Kepolisian sebagai Penyidik dan Kejaksaan sebagai Penyidik, serta sejauh mana hal itu memberikan keuntungan dalam pemberantasan korupsi di negara tersebut?” tanya Saldi.
Baca juga:
Advokat Persoalkan Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Advokat Sempurnakan Permohonan Soal Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Pandangan DPR Soal Kewenangan Kejaksaan Lakukan Penyidikan
Pemerintah: UUD 1945 Tidak Melarang Fungsi Ganda Kewenangan Kejaksaan
Diferensiasi Fungsional Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Penyidik Polri, Kejaksaan, dan KPK Bersinergi dalam Pemberantasan Korupsi
Tumpang Tindih Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
Pandangan Ahli DPR dan Presiden Ihwal Kewenangan Jaksa Sebagai Penyidik Tipikor
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang pengacara bernama M. Yasin Djamaludin. Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (29/3/2023) lalu, Pemohon mempersoalkan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower, karena Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.
Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Hal ini karena prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.
Dalam kasus konkret yang dialami Pemohon pada 21 Februari 2023, jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. Lalu pada 23 Februari 2023, jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Prapenuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang. Namun permintaan tersebut diabaikan oleh penyidik dan Jaksa Prapenuntutan.
Untuk itu, Pemohon dalam Petitum permohonan meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan atau kejaksaan’ UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.