JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara; Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); dan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pada Senin (4/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan yang diajukan dengan Nomor Perkara 78/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Haris Azhar (Pemohon I), Fatiah Maulidiyanti (Pemohon II), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (Pemohon III) dan Aliansi Jurnalis Indonesia (Pemohon IV).
Dalam persidangan yang digelar secara luring, Shaleh Al Ghifari selaku kuasa hukum pemohon menyampaikan terkait formil pengajuan pengujian permohonan telah disesuaikan dengan aturan baik dalam UU konstitusi maupun PMK 2021 dan di dalam penyebutan UU 1/1946 juga telah diperbaiki dengan menambahkan frasa sebagaimana diubah terakhir.
“Selanjutnya terkait dengan petitum kami juga sudah menyesuaikan dengan sebagaimana diatur dalam PMK 2/2021. Selanjutnya, Majelis Hakim Konstitusi pertama-tama atau selanjutnya terkait dengan disebut ne bis in idem kami juga memperbaiki bahwasannya yang telah diajukan ini tidak bertentangan dengan asas nebis in idem diajukan kembali pengujiannya itu telah kami uraikan dalam halaman 24 sampai 30 permohonan kami. Pada pokoknya alasan yang kami ajukan adalah antara batu uji dan alasan konstitusionalnya berbeda,” ujarnya di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Selanjutnya, sambung Shaleh, pihaknya juga telah menguraikan putusan MK sebelumnya terkait dengan pengujian pasal-pasal yang diajukan dengan alasan konstitusional yang berbeda. Mengenai kedudukan hukum pun telah diuraikan dan disesuaikan dengan AD/ART dan juga telah dijadikan bukti.
Dalam permohonannya, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti selaku Pemohon I dan Pemohon II merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji. Para Pemohon menilai keberadaan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan justru menghambat dan mengkriminalisasi para Pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia danpemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, Pemohon I dan Pemohon II terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah.
Para Pemohon mengajukan petitum provisi agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Provisi Para Pemohon. Selain itu, memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No. 203/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim., sampai dengan putusan pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi yang diajukan Pemohon ini. Selain itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim