JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjadi pemateri Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan II. Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama DPC Peradi Jakarta Barat dengan Universitas Al- Azhar Indonesia, pada Minggu (3/9/2023) secara daring.
Di hadapan para peserta kuliah, Daniel membahas materi berjudul “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”. Daniel mengatakan kekuasaan kehakiman di Indonesia sebelum amendemen UUD 1945 puncak peradilan hanya berada pada Mahkamah Agung (MA). Namun setelah amendemen, muncul Mahkamah Konstitusi (MK) yang posisinya sejajar dengan MA sebagai lembaga peradilan di Indonesia.
Kewenangan MK ini diejawantahkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Kemudian diatur lebih lanjut oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Adapun kewenangan MK yakni menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan pemilihan umum. Selain itu, dalam perkembangannya MK juga mendapatkan kewenangan tambahan untuk menyelesaiakan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Selanjutnya, Daniel menerangkan aspek-aspek umum dalam hukum acara MK, yaitu pengajuan permohonan, alat bukti, persidangan, dan putusan. Pengajuan permohonan diajukan dalam bentuk tertulis dalam bahasa Indonesia dengan beberapa ketentuan pengajuan permohonan lainnya. Dalam pengajuan permohonan, Pemohon sama sekali tidak dipungut biaya. Sementara berkaitan dengan alat bukti dapat berupa tulisan dalam surat, keterangan saksi, para pihak, dan alat bukti lain berupa informasi yang dapat disimpan secara elektronik. Berikutnya terkait dengan persidangan terdiri atas sidang pendahuluan berbentuk sidang panel, kemudian sidang pemeriksaan berbentuk sidang pleno yang dihadiri 9 hakim atau minimal 7 hakim.
“Jika hanya 6 hakim, maka sidang tidak dapat dilaksanakan dalam bentuk pleno,”ujar Daniel.
Terkait dengan Putusan MK, Daniel menegaskan, tidak ada upaya hukum setelahnya dan putusan MK memilliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum sesuai dengan Pasal 47 UU MK. Bahkan, para pihak dapat mengunduh dan membaca putusan dengan lengkap, 15 menit setelah putusan dibacakan, pada laman resmi MK di mkri.id.
Sebagaimana dimaksud pada kewenangan MK, jelas Daniel, maka objek dan jenis pengujian yang dilakukan di MK adalah UU dan Perpu dalam bentuk pengujian formiil dan materiil. Dalam pengujian formil termuat batasan waktu pengajuan yakni 45 hari setelah dimuat dalam Lembaran Negara, dan bagi MK terdapat batasan waktu penyelesaian 60 hari kerja sejak perkara tersebut tercatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Sedangkan untuk pengujian materiil, maka yang dapat diujikan adalah muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU/Perpu yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Daniel juga menjelaskan praktik hukum acara MK digunakan istilah “permohonan” bukan gugatan seperti dalam praktik hukum acara perdata karena lebih bernuansa kepentingan umum dan tidak mengandung sengketa kepentingan yang bersifat contentiosa. Sehingga DPR, Pemerintah, termasuk pula DPD bukanlah lawan Pemohon, melainkan hanya pemberi keterangan atas norma yang dipersoalkan Pemohon.
Dalam sesi diskusi, seorang peserta bernama Steven mengatakan ketua MK saat ini memiliki hubungan keluarga dengan presiden RI. “Bagaimana hakim MK dan MK juga memastikan bahwasannya MK tetap independen sesuai amanat UUD, kemudian juga apakah memang perlu adanya suatu amandemen terhadap pemilihan atau penunjukkan hakim MK karena menghindari conflict of interest tersebut,” tanya Steven.
Menanggapi hal tersebut, Daniel menyebut MK memiliki kode etik hakim yang mengatur hakim tidak hanya bertanggung jawab untuk dirinya sendiri tetapi juga pada Tuhan YME. Apalagi irah-irah putusan berdasarkan Ketuhanan YME. “Sebelum dilantik, hakim itu disumpah dan harus menjaga independensi itu. Kekhawatiran itu sebenarnya tidak perlu karena memang hakim MK memiliki independensi. Selain itu pertanggungjawaban putusan itu di dalam pertimbangan hukumnya,” ujarnya. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.