JAKARTA, HUMAS MKRI - Pensiunan Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo yang bernama Ludjiono mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang perdana Perkara Nomor 86/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Rabu (30/8/2023) dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Hadir secara daring, Ludjiono menyampaikan alasan pengujiannya berkaitan dengan Bab III yang memuat 20 pasal, di antaranya memuat soal bahasa negara. Ludjino berpandangan bahwa bahasa Indonesia berbentuk bahasa lisan dan tulis serta aksara negara Indonesia. Namun pada norma tersebut tidak disebutkan secara konkret bentuk atau wujud atau perincian dari aksara Indonesia. Layaknya lambang negara dikonkretkan dengan Garuda dengan aturan menghadap ke kanan dan bendera negara disebutkan memiliki warna tertentu beserta ukurannya. Akibat tidak disebutkan atau dinormakan secara jelas bentuk bahasa tersebut, Ludjino berpandangan hal demikian bertentangan dengan Pasal 27 ayat (3), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36C UUD 1945.
“Sebab pada undang-undang tersebut bahasa di sana tidak dinyatakan bentuk aksara latin bahasa Indonesia itu seperti apa, kalau tidak ada bentuknya tidak bisa dijelaskan aksara Indonesia itu seperti apa,” sebut Ludjiono.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Bab III bahasa negara UU 24/2009 tentang BBLNLK yang tanpa pasal bentuk simbol negara yang berbunyi “bahasa negara ialah bahasa indonesia berbentuk bahasa lisan dan bahasa tulisan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Sistematika Permohonan
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim memberikan sejumlah saran perbaikan kepada Pemohon. Hakim Konstitusi Wahiduddin meminta kejelasan dari permohonan yang diajukan ke Mahkamah. Mengingat format permohonan yang diajukan masih belum sesuai dengan sistematika. Untuk itu Pemohon diharapkan dapat mempelajari Peraturan MK terkait format permohonan dan kerugian yang dialami Pemohon. “Terkait dengan permohonan ini, belum terlihat pertentangan yang dimaksudkan dengan UUD 1945 yang dinilai merugikan hak konstitusional Pemohon,” nasihat Wahiduddin.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan catatan perbaikan mengenai sistematika permohonan, mulai dari identitas Pemohon; kewenangan Mahkamah dalam pengujian permohonan yang diujikan; kerugian konstitusional yang dialami Pemohon atas berlakunya Bab III UU Bahasa baik yang aktual, peotensial; alasan permohonan yang perlu dijelaskan lebih rinci.
“Pak Ludjiono meminta atau memohonkan apa ke Mahkamah karena petitumnya belum sebagaimana lazimnya untuk pengujian materil dari pengujian undang-undang, misalnya menyatakan Bab III UU Bahasa ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan seterusnya. Sehingga format petitum yang ada sekarang belum lazim, jadi sesuai dengan hukum acara MK. Lihat contoh pada laman MK dan utamanya legal standing perlu dipertegas dan diperjelas dan akan banyak sekali perbaikan yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya,” jelas Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan nasihat agar Pemohon meminta pendampingan dalam menyempurnakan permohonan nantinya. Sebab, perbaikan yang harus dilakukan pun cukup berat menginat format permohonan mulai dari identitas hingga petitum belum sesuai.
“Semoga ada bagian dari LBH atau pendamping yang memahami hukum acara MK untuk memberikan masukan duduk persoalan yang ingiin disampaikan Pemohon atas kekhawatiran yang dinilai berpotensi merugikan,” terang Daniel.
Sebelum menutup sidang, Daniel menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 12 September 2023 pukul 09.00 WIB. Untuk selanjutnya dapat dijadwalkan persidangan berikutnya yang akan diinfokan kemudian kepada Pemohon.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina