JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan Pengujian Materiil Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU P3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (24/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 66/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Umum dan Afriansyah Noor sebagai Sekretaris Jenderal. Adapun agenda sidang pada hari ini adalah mendengarkan keterangan pemerintah dan keterangan saksi pemohon.
Dalam sidang keempat yang digelar secara luring ini, Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Asep N. Mulyana menyampaikan norma yang dijelaskan dalam pokok perkara, yakni ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 adalah ketetapan MPR dan MPRS tahun 1960 sampai dengan tahun 2022. Berdasarkan kondisi faktual ketetapan MPRS dan MPR tersebut setelah perubahan ketatanegaraan dengan beberapa kali amendemen UUD 1945 telah dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun berdasarkan yuridis, ketetapan MPR dirumuskan dalam norma UU P3 sebagai hierarki peraturan perundang-undangan.
“Hierarki peraturan perundang-undangan sesuai penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011 yang dimaksud hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Secara yuridis berlakunya peraturan perundang-undangan sesuai hierarki berdasarkan hierarki ketetapan MPR berada dibawah UUD dan diatas UU,” terang Asep di hadapan pimpinan sidang Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Dilihat dari kedudukan hukumnya, sambung Asep, maka Ketetapan MPR mengandung norma yang sangat tinggi, namun belum jelas substansinya—mengingat ketetapan MPR tersebut berdasarkan kondisi faktual sangat banyak jika dilihat dari pemberlakuannya yakni tahun 1960 sampai tahun 2022 dan telah dinyatakan tidak berlaku lagi. Asep menambahkan norma yang demikian merupakan norma yang belum jelas baik substansi yang dimaksud ketetapan MPR sebagai hierarki sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b sehingga ketentuan demikian diperlukan adanya penjelasan. Sesuai ketentuan ketetapan MPR sebagai hierarki di bawah UUD dan di atas UU, maka secara penormaan harus ada perbedaan jenjang norma. Berdasarkan tata urutan dalam peraturan perundang-undangan ketetapan MPR telah sah sebagai hierarki peraturan perundang-undangan.
Kemudian, Asep menerangkan secara substansi kewenangan mengubah UUD merupakan kewenangan yang lebih tinggi derajatnya daripada kewenangan pembentuk UU. Apabila MPR pada suatu saat mengubah UUD, maka MPR sebagai pembentuk UU secara hierarki juga harus menyesuaikan terhadap perubahan UUD. Sebagai konsekuensi pembentukan terhadap perubahan UUD tersebut sebagai konsekuensi peraturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
“Namun, berdasarkan fakta yang terjadi bahwa MPR selama ini, belum pernah melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945. Sehingga keberadaan MPR seolah-olah tidak berfungsi. Hal ini berbeda dengan fungsi DPR yang secara fakta telah aktif melaksanakan fungsi dan kewenangannya dalam pembentukan UU. Hal tersebut dikarenakan MPR memiliki derajat pembentukan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya,” urai Asep dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Asep menyebut, apabila ketentuan MPR diperluas fungsinya seperti dalil pemohon maka ketentuan tersebut inkonstitusional karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. “Karena situasi ketetapan MPR memberikan norma derajat di atas undang-undang. Sehingga sulit diterapkan sesuai hukum. Selain hal tersebut dipertimbangkan perlu juga dipertimbangkan terhadap eksistensi dalam kedudukan hukumnya,” tandasnya.
Pelaku Sejarah Buka Suara
Dalam sidang tersebut, Pemohon juga menghadirkan sejumlah saksi, di antaranya Rully Chairul Azwar yang pada saat itu menjadi Anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR 2004. Ia menyampaikan keterangan terkait dengan lahirnya TAP MPR pada 2003. Ia mengatakan alasan utama menghendaki adanya perubahan undang-undang dasar dirasakan kekuasaan presiden yang terlalu besar, kekuasaan DPR kurang dinilai waktu itu.
“Semangatnya waktu itu adalah memperkuat DPR dan mengurangi kekuasaan presiden. Dan ada pemikiran bahwa rakyat yang dijelmakan melalui MPR namun MPR sendiri tidak bisa bekerja. Jadi dari hari ke hari akhirnya memberikan mandat kepada seorang presiden. Jadi kedaulatan itu pada hakikatnya dilaksanakan oleh seorang presiden. Inilah dinilai pada persoalan yang terkesan otoriter,” terang Rully.
Rully menambahkan hal yang menjadi perdebatan adalah mengenai kewenangan MPR. “Sudah saatnya rakyat mendapatkan langsung yang tidak lagi dititipkan oleh MPR maka terjadi supremasi konstitusi,” ujarnya.
Sedangkan Rambe Kamarul Zaman yang menjadi Saksi Pemohon lainnya mengatakan proses pembahasan pembicaraan untuk diambil keputusan dalam sidang paripurna harus melalui empat tahapan. “Dalam tingkat pembicaraan dari tahap satu hingga empat tidak pernah diperdebatkan apakah TAP MPR baik regeling ataupun beschiking, apakah MPR masih memiliki kewenangan untuk membentuknya. Seluruh substansi TAP telah termuat dalam UUD. Siapakah yang mengatakan TAP tersebut tidak berlaku lagi. Apakah harus dikeluarkan lagi TAP MPR berikutnya?” tegas Rambe.
Baca juga:
Yusril Ihza Mahendra Perbaiki Permohonan Uji Aturan Pembatasan Kewenangan MPR
Menguji Konstitusionalitas Kewenangan MPR
MPR Sebut Ada Kewenangan yang Belum Diatur dalam Bentuk Produk Hukum
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan dengan dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR di dalam UUD 1945 serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan yang fundamental dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan “lembaga tertinggi negara” dan sekaligus sebagai penjelmaan “seluruh rakyat Indonesia”.
Pemohon mendalilkan keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia setidaknya telah 3 (tiga) kali menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika negara ini mengalami krisis konstitusional. Pertama, MPRS telah membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya faham Marxisme dan Leninisme setelah terjadinya pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 3 Maret 1966. Kedua, MPRS menerbitkan Penetapan yang bersifat beshickking untuk menetapkan Pengembang Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967. Ketiga, MPR telah membuat Ketetapan tentang pertanggungjawaban Presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional. Keempat, MPR telah membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan. Ketetapan ini dijadikan dasar untuk berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden BJ Habibie di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung, ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter tahun 1998. Ketetapan ini membuat berhentinya Presiden Suharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitutional. Untuk itu, Sehingga dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.