JAKARTA, HUMAS MKRI – Syarat minimal usia 55 tahun bagi calon hakim konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang Mahkamah Konsitusi (UU MK) diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Fahri Bachmid yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 81/PUU-XXI/2023 tersebut. Sidang perdana dilaksanakan pada Kamis (24/8/2023) dengan dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra sebagai Ketua Panel dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan M. Guntur Hamzah.
Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK menyatakan “Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: d. berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun.”
Agustiar selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan perubahan yang terus terjadi atas syarat minimal usia calon hakim konstitusi, jelas dan nyata menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil bagi Pemohon yang semakin lama untuk dapat mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi. Hak konstitusional Pemohon ini sejatinya telah dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pada sidang ini, ia juga menyebutkan beberapa perubahan persyaratan syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi yang pernah terjadi.
“Saat ini pun UU 7/2020 ini sedang dalam proses perubahan dari usia 55 tahun ke 60 tahun. Perubahan demi perubahan ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon. Sehingga Pemohon telah memenuhi syarat mengajukan permohonan karena adanya kerugian konstitusional bersifat spesifik dan aktual dan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan ketentuan ini,” jelas Agustiar dalam sidang yang dihadirinya bersama dengan prinsipal serta kuasa hukum lainnya di Ruang Sidang Panel MK.
Untuk itu, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap frasa “berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun,” sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.
Kedudukan Hukum Pemohon
Dalam nasihat Panel Hakim, Hakim Konsitusi Manahan M. P. Sitompul mengatakan kedudukan hukum dan kerugian Pemohon atas berlakunya pasal a quo pada permohonan perlu adanya bukti UU MK tersebut dugaan adanya perubahan dari usia 55 tahun menjadi 60 tahun dalam rancangan perubahan UU tersebut di DPR.
“Apakah ada buktinya? Ini dapat menguatkan argumentasi dalam posita dan kedudukan hukum, dalam hal ini usia itu masih open legal policy maka harus ada dasar filosofis dan sosiologis mendalaminya,” sebut Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur memberikan catatan mengenai kedudukan hukum Pemohon. Mengingat usianya pada 2023 baru berusia 46 tahun, sehingga perlu argumentasi atas batas usia yang merugikan pihaknya.
“Sebelum UU 7/2020 dari 47 tahun lalu menjadi 55 tahun dan akan menjadi 60 tahun, maka ini bisa disertakan informasi resmi akan adanya perubahan-perubahan usia ini. Oleh karena itu, butuh argumentasi untuk memenuhi syarat yang lalu mapun yang sekarang,” sampai Guntur.
Selanjutnya, Wakil Ketua MK Saldi mengatakan, hal yang disampaikan Pemohon pada perkara ini adalah satu kritik terhadap MK terkait perubahan batas usia dari hakim konstitusi, khususnya alasan pemilihan angka 55 tahun yang dimohonkan pada perkara ini. “Angka adalah hal yang sulit dirumuskan, sebab ini pernah terjadi pada permohonan tentang batas usia Panitera MK,” sebut Saldi.
Pada akhir persidangan, Saldi menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya hingga Rabu, 6 September 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk kemudian dapat dijadwalkan untuk persidangan berikutnya oleh MK. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina