JAKARTA, HUMAS MKRI – Kasus pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang melibatkan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanti, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menjadi Pemohon uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal yang diuji, yakni Pasal 14 dan Pasal 15, Pasal 310 ayat (1) KUHP dan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Sidang perdana Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 digelar pada Selasa (22/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam persidangan yang digelar secara luring, Feri Amsari selaku kuasa Pemohon menyatakan materiil yang diujikan adalah Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 merupakan undang-undang awal kemerdekaan yang perlu diuji secara materiil karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang dibangun di awal reformasi.
“Kami paham betul Yang Mulia pasal-pasal ini sudah banyak sekali proses pengujiannya termasuk terdapat beberapa putusan. Tetapi soal ini, kami akan mengemukakan problematika konkrit yang dialami oleh permohon prinsipal dan kami harapkan nanti akan mendapatkan putusan yang melindungi hak-hak konstitusional prinsipal kami,” ungkap Feri dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Dalam permohonannya, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti selaku Pemohon I dan Pemohon II merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji. Para Pemohon menilai keberadaan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan justru menghambat dan mengkriminalisasi para Pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia danpemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, Pemohon I dan Pemohon II terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah.
Kasus konkret berupa kriminalisasi pada 22 September 2021, Pemohon I dan Pemohon II dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsa Pandjaitan dengan laporan nomor STTLP/B/4702/IX/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA. Kriminalisasi terhadap Pemohon I dan Pemohon II dilatarbelakangi oleh diskusi Pemohon I dan Pemohon II atas hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil tentang ”Studi Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua”. Kemudian, para Pemohon dikriminalisasi atas substansi pembahasan hasil riset tersebut. Padahal, tujuan Pemohon I dan Pemohon II adalah untuk mempublikasikan hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil, menyampaikan kritik atas keterlibatan para pejabat atau petinggi atau purnawirawan Tentara Nasional Indonesia—Angkatan Darat (TNI AD) di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi daerah. “Kriminalisasi tersebut telah secara terang melanggar hak konstitusional Pemohon I dan Pemohon II yang secara eksplisit dijamin dan dilindungi di dalam UUD 1945,” ujar Feri.
Untuk itu, Feri melanjutkan para Pemohon mengajukan petitum provisi agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Provisi Para Pemohon. “Selain itu, memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No. 203/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim., sampai dengan putusan pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi ini,” ujarnya.
Terkait provisi ini, Shaleh Al Ghifari selaku kuasa hukum Pemohon lainnya menyebut pengajuan provisi dimaksud untuk melindungi hak konstitusional pemohon dalam hal ini pemohon I dan pemohon II serta upaya menagih atau manifestasi dari tugas MK sebagai protektor dari hak asasi manusia, demokrasi, dan hak asasi warga negara. Kendati demikian, MK juga memiliki tugas untuk melakukan check and balances.
“Haris dan Fatiah dalam hal ini pemohon I dan pemohon II tengah menyandang status sebagai terdakwa dan telah menjalani atau tengah menjalani persidangan di Pengadilan Jakarta Timur. Tanpa bermaksud untuk menarik MK menilai kasus konkret alasan Pemohon I, Pemohon II sampai dapat menjadi Terdakwa ialah karena kritik keduanya baik melalui media tulisan maupun siniar pada pejabat publik yakni Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Karena kritik terhadap pejabat publik keduanya didakwa dan dikenakan pasal-pasal yang tengah diuji. Sehingga untuk memberikan kepastian hukum bagi keduanya kami minta agar Majelis Hakim Konstitusi untuk menghentikan dalam pengertian menunda perkara yang tengah dihadapi oleh pemohon I dan II di pengadilan,” tegas Shaleh.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar pasal-pasa yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan terkait dengan Pemohon terdapat kualifikasi perseorangan dan badan hukum. Untuk itu, para Pemohon harus menyertakan AD/ART. “Kalau badan hukum tolong nanti dilengkapi dengan AD/ART, siapa sesungguhnya yang diberi kewenangan untuk mewakili kelembagaan atau badan hukum tadi yang bersangkutan. Tunjukkan nanti dibuat bukti P berapa gitu ya, sebutkan nanti ya di permohonan untuk lebih jelasnya nanti,” ujar Enny.
Kemudian, sambung Enny, terkait dengan kasus konkret, ia meminta hati-hati bicara implementasi norma atau nanti memang ada persoalan konstitusionalitas norma. “Itu memang harus bisa memberikan sebuah argumentasi yang kokoh untuk bisa menyakinkan MK soal itu,” jelasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebut kewenangan MK sangat terbatas tidak seperti negara lain. MK lebih banyak pada mengadili konstitusionalitas norma undang-undang. “Kalau menurut saya ini sesuatu yang baru terkait dengan permohonan ini. Terkait dengan legal standing masih tertulis pemohon padahal pemohonnya ada empat,” ucap Daniel.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan pada petitum dibuat lebih sederhana agar dapat dipahami. “Dasar pengujian tidak perlu diuraikan satu persatu langsung dibungkus saja UUD 1945,” ujar Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim meminta Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan diterima oleh Kepaniteraan MK paling lambat Senin, 4 September 2023 pukul 09.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim