Beberapa hal yang krusial di antaranya hubungan kepala desa dengan âlembaga legislatif desaâ, pengangkatan Sekretaris Desa sebagai PNS dan pengaturan desa adat.
Melupakan desa adalah sebuah dosa. Tidak ada seorang pun di negara ini yang tidak punya desa. Kalaupun ia enggan disebut orang desa, pastilah ia orang kelurahan, kampung, nagari atau sebutan lain dari desa. Toh, Jakarta, sebagai ibu kota negara, bahkan tak lain adalah kampung besar. âKita semua adalah orang desa,â kata Prof. Mochtar Naim
Sosiolog asal Sumatera Barat itu diundang dalam rapat dengar pendapat umum Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Asosiasi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LMP), di Senayan Jakarta, Rabu (23/4).
Mochtar, anggota Panitia Ad Hoc I DPD, menegaskan bahwa sudah lama pemerintah dan parlemen melupakan desa sebagai unit pemerintahan terkecil. Mochtar membandingkan dengan apa yang diterapkan Belanda pada masa kolonial. âDi zaman kolonial, desa sangat kuat,â ujarnya.
Kondisi pemerintahan di desa, menurut Mochtar, sangat amburadul. âKarena tidak diatur di UUD 1945,â tandasnya. Apalagi, dari periode ke periode, tidak ada peraturan perundang-undangan yang benar-benar berpihak kepada desa. Di antara peraturan perundang-undangan itu adalah UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, serta UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Karena itu, pengaturan kembali desa melalui sebuah UU tersendiri memiliki urgensi yang tinggi. Selain dapat menata kembali pemerintahan di tingkat desa, kelahiran UU ini diharapkan dapat memberdayakan ekonomi desa. âOtonomi tidak hanya di tingkat provinsi dan kabupaten, tapi juga harus sampai ke wilayah desa,â tandas Mochtar.
Jalan ke arah sana sudah terbentang. Semua bermula dari gagasan merevisi muatan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini hendak dipecah menjadi tiga: UU Pemerintahan Daerah, UU Pemilihan Kepala Daerah, dan UU Desa.
Berkaitan dengan Pilkada, pemerintah dan DPR telah berhasil merevisi UU No. 32 Tahun 2004 dengan memberi kesempatan calon perseorangan ikut andil dalam Pilkada. Sementara itu, karena bukan prioritas, UU Desa disusun belakangan.
Apa sih Desa itu?
Desa berdasarkan Undang-Undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945.
(UU No. 22 Tahun 1999 Bagian Umum, angka 9 butir 1)
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(UU No. 32 Tahun 2004 Ketentuan Umum, Pasal 1 Butir 12) |
Hingga kini, draft RUU Desa belum tersusun. Bahkan naskah akademisnya pun baru dirancang. Beberapa materi yang diprediksi bakal memerlukan diskusi panjang adalah hubungan kepala desa dengan âlembaga legislatif desaâ, pengangkatan Sekretaris Desa (sekdes) sebagai PNS dan pengaturan desa adat.
Terkait dengan problem status sekdes yang harus PNS, Pemerintah sudah menerbitkan PP No. 45/2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekdes Menjadi PNS. Saat ini, mayoritas dari sekitar 53 ribu sekdes belum berstatus PNS. Itu sebabnya beberapa waktu lalu ratusan sekdes datang ke Jakarta menggelar aksi demo.
LPM versus BPD
Lalu, muncullah usulan agar peran legislatif di desa dipegang oleh LPM. âKami dulu adalah LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa),â kata Panji Alam, Ketua LPM Padang. LKMD dibentuk pemerintah Orde Baru berdasarkan Keppres No. 28 Tahun 1980. Setelah rejim Orde Baru berakhir, organisasi ini ditata ulang dengan Keppres No. 49 Tahun 2001.
Dengan menjadi âbadan legislatif desaâ, LPM akan menjadi mitra Kepala Desa dalam menyusun Peraturan Desa. Namun keinginan LPM tidak gampang diwujudkan. Sebab, saat ini hampir seluruh desa sudah memiliki lembaga legislatif bernama Badan Perwakilan Desa (BPD).
Anggota DPD Sri Kadarwati Aswin khawatir, LPM justru akan berebut lahan dengan BPD. Selain itu, ia mempertanyakan independensi LPM. Ia tak ingin lembaga ini justru dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu.
Panji alam mengatakan, agar tidak terjadi tumpang tindih, BPD sebaiknya dibubarkan. Soal, independensi LPM, menurutnya tidak berarti orang parpol tidak boleh menjadi pengurus LPM. âKita tidak bisa membatasi hak orang untuk berpolitik,â ujar Ketua Partai Golkar Kota Padang ini.
Soal perlu tidaknya Sekdes diangkat menjadi PNS, DPD merasa belum mendapat masukan yang berarti. Ketika dimintai pendapatnya, para pengurus LPM justru tidak satu suara. Ada yang setuju Sekdes dijadikan PNS, ada pula yang menolak. âKarena itu kami berencana membahas masalah ini dengan Badan Kepegawaian Nasional,â ungkap Sri Kadarwati.
Mengenai desa adat, Mochtar berpandangan, harus juga diatur di UU Desa. Ia sepakat desa adat dengan berbagai ragam dan penyebutannya tetap dilestarikan. âTapi soal teknis administrasi harus disamakan dengan desa lain,â jelasnya.
DPD akan terus mengumpulkan pandangan dari para pakar dan pemangku kepentingan. Diharapkan, dalam waktu dekat, naskah RUU Desa beserta naskah akademisnya bisa tersusun.âTarget kami Juli nanti kami bawa ke DPR,â kata Wakil Ketua PAH I DPD, Hariyanti Syafrin.(Her)
Sumber: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19081&cl=Berita
Foto: dok. Humas MK