JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan atas tiga undang-undang sekaligus, yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang kesembilan untuk Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh M. Yasin Djamaludin ini digelar pada Senin (21/8/2023) di Ruang Sidang Pleno dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman bersama dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra dan tujuh hakim konstitusi lainnya.
Agenda sidang adalah mendengar keterangan ahli DPR dan ahli Presiden /Pemerintah. DPR menghadirkan ahli Abdul Chair Ramadhan. Sedangkan Pemerintah menghadirkan ahli Hibnu Nugroho.
Pertimbangan Kemaslahatan
Abdul Chair Ramadhan memberikan keterangan bahwa kewenangan kejaksaan dalam bidang penyidikan tipikor untuk mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi dan upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat dari tipikor tersebut. menurutnya, penyidikan dan penuntutan merupakan satu hal yang terintegrasi dalam suatu sistem yang hukum sehingga melahirkan adanya hubungan fungsional satu sama lain yang bersifat saling tergantung. Pada hakikatnya, Abdul melihat bahwa hukum tindak pidana korupsi pun membutuhkan suatu sistem hukum dan dalam pengintegrasiannya harus pulalah termuat faktor substansi, kelembagaan, dan kultur agar dapat memberikan kontribusi satu sama lainnya.
“Dalam kaitan ini, pemberantasan penegakan hukum terhadap tipikor tidak sederajat dengan tindak pidana lainnya sehingga undang-undang pun memberikan kekhususan terhadap kewenangan kejaksaan ini. Maka terhadap kewenangan kejaksaan untuk penyidikan tipikor juga merupakan suatu pengecualian dan dalam proses sistem hukum ini dapat dibenarkan sepanjang mendatangkan kemanfaatan,” jelas Abdul.
Senada dengan pandangan ini, Abdul menyebutkan bahwa pada Putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007 telah pula menegaskan terkait kewenangan kejaksaan ini yang hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu dan pasal-pasal yang ada di dalamnya tidak bersifat umum tetapi suatu pengecualian yang sudah lazim jika diperlukan untuk menangani hal yang bersifat khusus. Di samping itu, Abdul berpendapat keberadaan jaksa dan peranannya sebagai penyidik tersebut sejatinya didasarkan pada konsep antisipatif dan prediktif. Secara singkat, jelas Abdul, apabila diyakini fungsi penyidikan oleh kepolisian dalam penanganan tipikor telah maksimal, maka akan dilakukan pemisahan fungsi penyidikan dan penuntutan secara pasti. Di mana Jaksa tidak lagi melakukan fungsi penyidikan karena proses penyidikan tunggal selanjutnya akan menjadi otoritas kepolisian.
“Peranan penyidikan oleh kejaksaan tetap diperlukan dengan pertimbangan mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar. Apabila fungsi ini dipisahkan akan terjadi ketidakadilan dan ketidakpastian yang berujung pada utilitas dalam pemberantasan korupsi dan pengembalian keuangan negara,” sampai Abdul.
Asas Peradilan Cepat
Sementara itu, Hibnu Nugroho selaku Ahli yang dihadirkan Presiden/Pemerintah memberikan keterangan bahwa kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana bermakna bagaimana merumuskan perundang-undangan yang baik. Dalam hal ini, kebijakan penanggulangan kejahatan menjadi bagian dari penegakan hukum yang menjadi pedoman bagi penegak hukum saat melakukan penanggulangan kejahatan. Sejalan dengan hal ini, kebijakan juga menjadi bagian dari integral perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu, Hibnu berpendapat, diperlukan sarana penal dengan pengoperasian tahap formulasi, aplikasi, dan eksekusi. Dalam pelaksanaan kebijakan ini diperlukan sinergi dari ketiga tahap yang ada tersebut agar dapat segala sesuatunya dapat bekerja sebagaimana mestinya.
Lebih jelas Hibnu mengatakan tahap penyidikan sebagai jantung penegakan hukum dan upaya dalam pembuktian atas terbukti atau tidaknya suatu tindak pidana. Dari hasil ini, jaksa penuntut umum akan membuat surat penuntutan dan meyakini terbukti atau sebaliknya. Pada dasarnya, penyidikan bertujuan mengumpulkan bukti dan ditemukan tersangka. Rangkaian proses panjang dari awal penyidikan ini kelak akan bermuara untuk mendapatkan kebenaran sehingga pada tiap tahap harus dilakukan dengan efisien dan cermat. Oleh karenanya, penyidikan menjadi bagian penting dari proses hukum yang juga bersentuhan dengan hak asasi manusia sehingga tidak dapat pula mengesampingkan asas cepat dan berbiaya ringan serta batas waktu yang terukur.
“Keberadaan jaksa dalam hal ini menjadi gambaran bagaimana asas cepat tersebut diterapkan. Bahwa tahap penyidikan terus berkembang dan untuk itu haruslah pula diikuti dengan penanganan penyidikan dengan era modern melalui tata manajemen yang efektif. Sehingga terhadap perkara tipikor, kepolisian dan kejaksaan yang bekerja sama ini memberikan gambaran politik hukum pemerintah yang kian serius dalam penanganan tipikor sehingga harus ditangani dan tidak biasa jika hanya dilakukan oleh satu lembaga saja. Kerja sama ini akan menerapkan peradilan berbiaya ringan dan cepat,” sampai Hibnu.
Baca juga:
Advokat Persoalkan Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Advokat Sempurnakan Permohonan Soal Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Pandangan DPR Soal Kewenangan Kejaksaan Lakukan Penyidikan
Pemerintah: UUD 1945 Tidak Melarang Fungsi Ganda Kewenangan Kejaksaan
Diferensiasi Fungsional Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Penyidik Polri, Kejaksaan, dan KPK Bersinergi dalam Pemberantasan Korupsi
Tumpang Tindih Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang pengacara bernama M. Yasin Djamaludin. Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (29/3/2023) lalu, Pemohon mempersoalkan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower, karena Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.
Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Hal ini karena prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.
Dalam kasus konkret yang dialami Pemohon pada 21 Februari 2023, jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. Lalu pada 23 Februari 2023, jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Prapenuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang. Namun permintaan tersebut diabaikan oleh penyidik dan Jaksa Prapenuntutan.
Untuk itu, Pemohon dalam Petitum permohonan meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan atau kejaksaan’ UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.