JAKARTA, HUMAS MKRI – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memiliki sejumlah kewenangan yang belum diatur dalam bentuk produk hukum. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua MPR Arsul Sani ketika menyampaikan keterangan MPR sebagai Pihak Terkait dalam sidang uji materiil Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) yang digelar pada Selasa (15/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang ketiga Perkara Nomor 66/PUU-XXI/2023 ini beragendakan mendengar keterangan Pemerintah, DPR, dan Pihak Terkait (MPR).
Arsul menyebut sejumlah wewenang konstitusional MPR yang belum memiliki pengaturan bentuk hukum, di antaranya melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil Pemilihan Umum; melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya; memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
“Dan, kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya,” ucap Arsul menanggapi permohonan yang diajukan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut.
Arsul melanjutkan, terdapat perkembangan dinamika pemikiran tentang produk hukum yang digunakan untuk menjalankan wewenang-wewenang tersebut. MPR mempertimbangkan menggunakan bentuk hukum Keputusan, Ketetapan, ataukah dalam bentuk tindakan konkrit. Selain itu, lanjutnya, terdapat pula dinamika gagasan mengenai hal-hal yang tidak ditentukan di dalam UUD 1945. Misalnya, pada saat Presiden dan Wakil Presiden berhenti bersamaan dalam masa jabatannya, UUD 1945 menentukan bahwa pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama, atau yang dikenal dengan istilah triumvirat.
“Apakah status hukum sebagai pelaksana tugas kepresidenan tersebut memerlukan suatu bentuk atau tindakan hukum tertentu, atau ada demi hukum pada saat terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan. Persoalan-persoalan ketatanegaraan baik yang telah terjadi maupun potensial terjadi tentu berkembang seiring dengan perkembangan dinamika sosial. Hal ini memerlukan perhatian dan pemikiran bersama berlandaskan pada UUD 1945,” ungkap Arsul.
Bukan Lembaga Tertinggi
Sementara DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi III Habiburokhman menyampaikan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai TAP MPR, Pemohon dapat membaca naskah akademik dari risalah pembahasan RUU Nomor 12 Tahun 2011 berdasarkan tinjauan teoritik dan kepustakaan akademik RUU Nomor 12 Tahun 2011. Ia melanjutkan TAP MPR tidak akan dikeluarkan lagi sebagai jenis peraturan perundang-undangan karena MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat melainkan sekadar sebagai lembaga negara yang bersifat forum dan eksis jika ada joint session DPR dan DPRD.
“Bahwa selain dari naskah akademik, rancangan undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 informasi mengenai TAP MPR dapat dibaca dari risalah pembahasan RUU Nomor 12 Tahun 2011. Sejak terjadinya empat tahap perubahan UUD 1945 fungsi, tugas dan kedudukan MPR mengalami perubahan drastis. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, MPR juga tidak lagi memilih presiden sebagaimana sebelumnya termasuk kewenangan untuk membuat GBHN serta meminta pertanggungjawaban presiden di akhir masa jabatannya,” ujar Habiburokhman.
Menurut Habiburokhman, Perubahan UUD 1945 juga berimbas pada posisi MPR menjadi lembaga negara yang posisinya sama seperti negara lain yang diatur dalam UUD 1945. Perubahan ini diharapkan bisa menjadi berlangsungnya sistem check and balance antara lembaga negara. Dengan begitu harapan masyarakat agar hubungan antar lembaga negara bisa berjalan baik dan harmonis segeran terwujud. Konsep check and balances merujuk pada doktrin pemisahan kekuasaan yang telah dikenal dan berkembang di dunia jauh sebelum UUD 1945 dirumuskan.
Baca juga:
Yusril Ihza Mahendra Perbaiki Permohonan Uji Aturan Pembatasan Kewenangan MPR
Menguji Konstitusionalitas Kewenangan MPR
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan dengan dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR di dalam UUD 1945 serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan yang fundamental dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan “lembaga tertinggi negara” dan sekaligus sebagai penjelmaan “seluruh rakyat Indonesia”.
Pemohon mendalilkan keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia setidaknya telah 3 (tiga) kali menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika negara ini mengalami krisis konstitusional. Pertama, MPRS telah membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya faham Marxisme dan Leninisme setelah terjadinya pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 3 Maret 1966. Kedua, MPRS menerbitkan Penetapan yang bersifat beshickking untuk menetapkan Pengembang Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967. Ketiga, MPR telah membuat Ketetapan tentang pertanggungjawaban Presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional. Keempat, MPR telah membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan. Ketetapan ini dijadikan dasar untuk berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden BJ Habibie di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung, ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter tahun 1998. Ketetapan ini membuat berhentinya Presiden Suharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitutional. Untuk itu, Sehingga dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.