JAKARTA, HUMAS MKRI - The 6th Indonesian Constitutional Court International Symposium berakhir pada, Jum’at, (11/08/2023). Kegiatan tersebut secara resmi ditutup oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.
Dalam sambutannya, Daniel mengatakan simposium ini tidak ditujukan untuk memberikan solusi atas segala tantangan yang berkaitan dengan “independensi peradilan”. Menurutnya, diperlukan banyak waktu untuk membahas isu-isu spesifik secara lebih rinci. “Namun, simposium ini telah membuka wacana tentang isu-isu yang mungkin kurang mendapat perhatian dalam studi banding hukum tata negara, khususnya yang berkaitan dengan independensi peradilan,” ujar Daniel.
Daniel menyatakan selalu mendorong para pegawai untuk mencermati dan mempelajari isu-isu terkini seputar hukum tata negara dan peradilan di berbagai negara dalam suasana yang menjunjung tinggi nilai-nilai akademik, sehingga dapat memberikan dukungan substantif kepada para hakim MK. Oleh karena itu, MK terbuka untuk menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang terafiliasi dengan pembicara dan peserta simposium ini.
“Pada kesempatan ini, izinkan saya mengajak Anda sekalian untuk mengirimkan naskah ke Jurnal Constitutional Review, agar gagasan dan pendapat tersebut dapat dibaca oleh para hakim, pengacara, dan sarjana hukum di berbagai belahan dunia. Jurnal Constitutional Review merupakan jurnal ilmiah yang dikelola oleh Mahkamah Konstitusi RI dan telah terindeks Scopus, menjadikannya salah satu referensi tepercaya di bidang hukum tata negara,” terang Daniel.
Pemaparan Para Pemateri
Sebelumnya, pada hari kedua, Indonesia Constitutional Court International Symposium ini, Manuel Adrian Marino Menjiva, dari Gerardo Barrios University, El Savador, yang tampil sebagai pembicara pertama mengulas pemberhentian hakim pada kamar konstitusional Mahkamah Agung El Savador.
Dikatakan olehnya, legislatif El Salvador membuat keputusan penting, keduanya secara politik dan hukum, dengan mencopot hakim-hakim Mahkamah Agung, meskipun masa jabatan mereka tinggal enam tahun. Alasan pemberhentian itu adalah bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh Kamar Konstitusional selama pandemi COVID-19 telah mengancam kehidupan penduduk Salvador.
Meskipun Konstitusi Salvador mengatur kekuasaan DPR untuk mengangkat dan memberhentikan Hakim Agung, termasuk juga kamar Konstitusional, ia juga mengamanatkan, bahwa alasan penghapusan secara tegas harus diatur dalam suatu undang-undang. Namun, pada saat Hakim dicopot, undang-undang semacam itu belum ada, dan masih ada tidak ada pada saat Manuel membuat makalah ini. Selanjutnya, keputusan dibuat tanpa mengikuti proses hukum yang benar, yang memungkinkan bagi para hakim yang diberhentikan untuk menggunakan hak mereka untuk membela diri. Manuel melihat keputusan kontroversial ini bukanlah suatu kebetulan.
“Kita akan melihat bagaimana retorika populis yang dipimpin oleh MA Elsavador terdiri dari 15 hakim yang dipilih oleh parlemen dan eksekutif yang saat ini dikuasai partai mayoritas, sehingga mereka kekurangan legitimasi. Para hakim terbagi pada empat kamar, dan hakim pada kamar konstitusi terdiri dari 5 orang hakim. Tidak ada mekanisme keseimbangan pada kamar konstitusional MA El Savador karena semua putusan dikontrol oleh eksekutif,” ujarnya.
Diungkapkan oleh Manuel, dirinya melihat bagaimana retorika populis yang dipimpin oleh Presiden dikombinasikan dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh legislatif dengan mayoritas deputi yang bersekutu dengan Presiden, membuat alasan sedemikian rupa untuk mencopot Hakim dari Kamar Konstitusi.
Pembicara berikutnya, Zoltan Szente, Profesor Riset Institute for Legal Studies, Budapest Hungaria, dalam pemaparannya menilai demokrasi di berbagai belahan dunia saat ini sedang mengalami penurunan. Menurut Zoltan, ada kecenderungan politik yang berusaha mengubah kewenangan peradilan konstitusi dengan mengubah kewenangan mendasar yang tidak dapat dinilai secara hukum dan berbagai argumentasi teknis, serta mendahulukan kepentingan politik pemerintah,dengan cara mengubah metode penafsiran konstitusi
Zoltan memberikan contoh, bagaimana penguasa secara hukum mengubah metode penafsiran hukum dan standar konstitusi, tidak mengubah isi konstitusi mengintepretasikan ulang substansi konsep konstitusional yang mendukung pemerintah.
Langkah berikutnya, hal yang dilakukan penguasa adalah membuat MK lebih mengacu kepada persyaratan konstitusional alih-alih mencabut hukum yang inkonstitusional, mempertahankan undang-undang yang inkonstitusional, mendukung pemerintah dengan membuat penafsiran yang sesuai dengan kehendak politik penguasa, dan membatalkan hukum yang jelas inkonstitusional dengan efek ex nunc (bukan ex tunc).
Sementara itu, Idul Rishan, dosen Universitas islam Indonesia, dalam pemaparannya juga memberikan contoh apa yang terjadi pada MK Hungaria, dan membandingkannya dengan MK Polandia dan Indonesia. Idul berpandangan melalui perjuangan dalam transisi politik yang panjang, MK Hungaria menunjukan peranan yang penting dalam membangun hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Meski dimikian, setelah amandemen dan revisi undang-undang, MK menjadi semakin lemah dan berpengaruh pada independensi MK.
Berikutnya, Justin B. Apperson, menyoroti perlunya proteksi anggaran untuk gaji dan kebutuhan pegawai lembaga peradilan. Apperson memberikan contoh, pada umumnya peradilan di Amerika Serikat bergantung pada alokasi yang disediakan oleh legislatif untuk mendanai kebutuhan pengadilan. Untuk itu, pengadilan berusaha meningkatkan hubungan baik dengan cabang kekuasaan lain melalui perencanaan strategis dan pengukuran kinerja agar anggaran terwesbut terpenuhi. Di sisi lain, kata Apperson, pengadilan juga terkadang menggunakan wewenangnya untuk memaksa peresetujuan anggaran dari pejabat legislatif dan eksekutif meskipun pada akhirnya hal itu menurunkan rasa hormat dan melemahkan hubungan dengan cabang kekuasaan lainnya.
Berikutnya, Fritz Edward Siregar mempresentasikan penelitiannya mengani ketahanan peradilan dalam melawan tekanan populis di Afrika Selatan, Kolombia, dan Indonesia. Menurutnya, ada empat langkah yang diperlukan untuk menjaga independensi lembaga peradilan, yaitu penguatan kerangka hukum dan kelembagaan, menumbuhkan budaya yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi peradilan, dan mendorong dialog dan kerja sama antarlembaga peradilan. Menurut Fritz, di tengah tantangan gerakan populis, dukungan dari publik sangat penting untuk membantu peradilan mendapatkan legitimasi, agar lembaga peradilan lebih berwibawa dan efektif menjalankan putusannya.
Di hari kedua penyelenggaraan The 6th ICCIS juga menghadirkan sejumlah pembicara lainnya yakni Mónica Castillejos-Aragón dari The University of California, Berkeley School of Law Amerika Serikat, Osayd Awawda dari Hebron University, Palestina, Justin B. Apperson dari William & Mary Law School,Amerika Serikat, dan Cekli Setya Pratiwi dari The Institute of Human Rights and Peace Studies Mahidol University, Thailand. (*)
Penulis: Ilham M.W
Editor: Lulu Anjarsari P.