JAKARTA, HUMAS MKRI – Sesi kedua International Chief Justice Forum (ICJF) membahas tema “Current Challenges and Future Direction for Strengthening Democracy through Constitutional Jurisdictions” (Arah Tantangan ke Depan dalam Menguatkan Demokrasi Melalui Kewenangan Konstitusional) pada Kamis (10/8/2023). Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams hadir sebagai moderator sesi kedua dengan sejumlah narasumber, yakni Ketua MK Mongolia Chinbat Namjil, Ketua MK Thailand Chiranit Havanond, Presiden Dewan Konstitusi Angola Laurinda Cardoso, Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan lainnya.
Dalam pidatonya, Ketua MK Mongolia Chinbat Namjil mengungkapkan MK Mongolia telah mencapai prestasi besar dalam menyatakan undang-undang yang digugat inkonstitusional. Bukan hanya itu, MK Mongolia juga melindungi prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, dan membangun masyarakat yang manusiawi, sipil, dan demokratis.
“Begitu putusan Mahkamah Konstitusi Mongolia dikeluarkan, menjadi efektif dan mengikat, sehingga berdampak langsung pada kehidupan dan politik bagi warga negara. Banyak keputusan penting yang dibuat yang menunjukkan bahwa setiap organisasi pemerintah harus menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip demokrasi,” papar Chinbat.
Chinbat juga menekankan setiap putusan yang diputus oleh MK Mongolia tidak hanya penting dalam mengantisipasi pelanggaran Konstitusi, tetapi juga berdampak nyata pada perkembangan demokrasi. “Terakhir, sebagai penutup, peran Mahkamah Konstitusi penting dalam melindungi konstitusi, nilai dan prinsip demokrasi, serta hak asasi manusia,” tutupnya.
Sementara itu, Presiden Dewan Konstitusi Angola Laurinda Cardoso menyampaikan sejumlah putusan Dewan Konstitusi Angola dalam rangka menjaga nilai-nilai konstitusi.Salah satunya melalui perkara uji materiil yang diajukan oleh Asosiasi Pengacara Angola. “Dalam putusan tersebut untuk mempertahankan nilai-nilai luhur konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak hanya menyatakan inkonstitusionalitas, tetapi juga menentukan bentuk dan akibat dari putusan tersebut, yaitu keefektifannya,” paparnya.
Laurinda juga menegaskan kembali bahwa sistem konstitusional Angola dicirikan oleh kewenangan konstitusional yang memiliki hubungan baik dengan parlemen. Dalam putusan-putusan besar yang mempertimbangkan nilai-nilai, asas-asas dan hak-hak dasar yang terkandung dalam konstitusi, Dewan Konstitusi Angola memiliki peran yang tidak hanya terbatas dalam penegakan hak, tetapi juga untuk memastikan bahwa konstruksi hukum berlangsung.
“Seperti yang dikatakan Hans Kelsen, ‘Dengan tidak adanya organisasi seperti mahkamah konstitusi, pembuat undang-undang akan memiliki keputusan akhir tentang apakah syarat-syarat telah dipenuhi dan prinsip legalitas konstitusional pada dasarnya akan tetap tidak efektif,” ujarnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo yang juga hadir menyampaikan kontribusi MKRI dalam memperkuat demokrasi dapat dilihat dari cara MKRI menjalankan kewenangannya. Pertama, melalui pengujian undang-undang, karena MKRI memiliki kekuatan untuk meninjau dan menjatuhkan peraturan perundang-undangan yang dianggap inkonstitusional.
“Mekanisme ini memastikan bahwa cabang legislatif tidak melampaui batas konstitusionalnya dan bahwa undang-undang sejalan dengan hak-hak dasar dan prinsip-prinsip demokrasi. Gagasan ini dapat ditelusuri kembali ke gagasan check and balances. Pengadilan bertindak sebagai check and balances atas kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dengan meninjau konstitusionalitas tindakan mereka, pengadilan membantu mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan mempromosikan sistem check and balances,” ujarnya.
Untuk diketahui, MK pertama kali menggelar ICJF sebagai rangkaian acara HUT ke-20 MKRI yang jatuh pada 13 Agustus mendatang. Forum ini merupakan inisiasi dari MKRI sebagai motor penggerak dalam penegakan konstitusi di Asia-Afrika. Apalagi MKRI telah menjalin hubungan baik dengan dengan sejumlah MK/MA di Asia melalui AACC dan Afrika melalui kerja sama dengan Conference of Constitutional Jurisdictions of Africa (CCJA). ICJF ini diikuti oleh sembilan negara, yakni Angola, Azerbaijan, Kazakhstan, Mongolia, Namibia, Afrika Selatan, Thailand, Turkiye, dan satu asosiasi peradilan konstitusi se-Afrika, CCJA. (*)
Penulis: Lulu Anjarsari P.
Editor: Tiara Agustina