JAKARTA, HUMAS MKRI - Sebagai Sekretariat Permanen AACC, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) selalu berkomitmen untuk memajukan asosiasi dari semua sisi. Baik dari sisi perencanaan dan koordinasi, dari sisi penyelenggaraan kegiatan, baik di level Hakim Konstitusi hingga peningkatan kapasitas working level dari masing-masing negara anggota. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pembukaan Kursus Singkat Internasional (Short Course) dari Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) keenam yang berlangsung di Jakarta, pada Kamis (10/8/2023).
Dikatakan Arief, di era modern ini, kegerakan sebuah lembaga maupun sebuah organisasi, sangat dipengaruhi oleh kolaborasi yang terjadi, baik secara top-down maupun bottom–up. “Sebagai insan yang bekerja di lembaga peradilan, kita berkewajiban untuk menghasilkan putusan yang dapat memberikan rasa adil. Dan harus dipahami bahwa hal tersebut bukanlah tanggung jawab dari para hakim semata, melainkan tugas Ibu/Bapak sebagai insan yang mendukung kinerja para hakim kontitusi,”ujar Arief.
Atas dasar pemikiran tersebut, sambungnya, maka sejak ia dipercaya menjadi Presiden AACC pada tahun 2015, salah satu agenda prioritas yang dirancang adalah untuk menyelenggarakan program pertukaran pengalaman yang sekaligus merupakan pelatihan bagi para pegawai di masing-masing Mahkamah Konstitusi anggota AACC.
Kemajuan Teknologi
Menurut Arief, pada penyelenggaraan AACC Internasional Short Course yang ke-6 tahun ini, MKRI mengambil tema: Democracy, Digital Transformation, and Judicial Independence. “Bukanlah sebuah kebetulan kami memilih topik ini. Kita sama-sama paham bahwa sebagai lembaga peradilan yang juga merupakan the guardian of democracy, MK berkewajiban untuk menjadikan konstitusi menjadi hukum tertinggi yang mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi,” tegas Arief.
Menurut Arief, di era kemajuan teknologi, tantangan yang dihadapi semakin berlipat ganda. Kemajuan teknologi melahirkan kesempatan sekaligus tantangan karena arus lalu lintas informasi yang bergerak sangatlah cepat. “Akibatnya, sudah umum kita dapati bermunculan informasi yang bersifat provokatif, hoaks, hingga post-truth. Konsep Society 5.0 sebagai era yang membuat teknologi digital menjadi bagian penting dari kehidupan dengan mengandalkan manusia sebagai komponen utama. Sama halnya dengan hukum yang menjadikan manusia sebagai kunci dalam mobilisasi hukum. Artinya, hukum tidak akan berfungsi secara maksimal jika manusia tidak menggerakkan hukum. Oleh karenanya, ia meyakini bahwa teknologi adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya: manusia untuk teknologi,” ungkapnya.
Ia pun menyebut, teknologi ada untuk dikembangkan, didayagunakan, dan dimanfaatkan untuk kepentingan manusia dimana citra Sang Pencipta tetap harus terpancar disana. Dalam sebuah kesempatan kunjungan kerja ke Dubai pada tahun 2022 silam, Arief, berkesempatan untuk mempelajari tentang bagaimana Artificial Intelegence telah memasuki ruang-ruang peradilan termasuk putusan-putusannya.
Disana, Arief melanjutkan, beberapa kasus peradilan bisnis sedang diujicobakan untuk tidak lagi menggunakan kebijaksanaan seorang hakim sebagai pengambil putusan, melainkan dengan algoritma-algoritma yang dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan putusan yang adil.
“Hal ini adalah tantangan kita bersama. Sebagai lembaga peradilan yang mengadili norma serta nilai-nilai prinsip kebangsaan yang tertuang dalam konstitusi, maka menjadi penting bagi kita untuk mengedepankan cipta (pikiran), rasa (hati) dan karsa (kemauan) kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang telah dikaruniani akal budi yang sempurna. Didasari oleh beberapa hal yang tadi telah Saya sampaikan, maka saya meyakini bahwa short course kali ini akan sangat menarik bagi para peserta untuk mengetahui tentang bagaimana tekhnologi dapat mendukung manusia dalam menjaga demokrasi dan mewujudkan peradilan yang independen,” terangnya.
Arief berharap bahwa dalam sharing session nanti, masing-masing dapat saling belajar dan bertukar pikiran, sehingga kelak akan ada suatu hal positif baru yang dibawa pulang ke negara masing-masing.
Transformasi Digital
Pada sesi satu kursus singkat AACC, Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan memaparkan materi mengenai Transformasi Digital dalam Hukum Acara Pengujian Undang Undang di Mahkamah Konstitusi RI. Ia menerangkan Mahkamah Konstitusi sejak awal bertekad untuk menjadi peradilan modern dengan terus menerus melakukan dan mengembangkan inovasi untuk optimalisasi pemanfaatan information, communication, dan technology (ICT).
“Tidak terbantahkan, penggunaan ICT telah menjadi suatu kekuatan pendorong utama (main driving force) bagi institusi modern seperti MK, khususnya Transformasi Digital dalam Hukum Acara Pengujian Undang Undang,” ujarnya.
Menurut Heru, dengan transformasi digital yang dilakukan di MK akan menghasilkan dokumen hukum dari hasil analisis hukum yang ditransformasikan oleh teknologi yang mampu mengolah, menyimpan, dan menampilkan kaidah-kaidah hukum dalam Putusan MK ke dalam satu literasi hukum digital yang terintegrasi menjadi sebuah literasi hukum yang komprehensif. Untuk menghasilkan literasi hukum yang komprehensif serta untuk menjawab keterbukaan penanganan perkara di MK, perbuatan menganalisis hukum haruslah dilakukan sejak tahap permohonan diterima oleh Mahkamah Konstitusi, baik melalui permohonan yang diajukan secara online maupun melalui permohonan yang diajukan di loket yang disediakan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, pada setiap tahapan penanganan perkara di MK dan persidangan di MK akan menghasilkan dokumen hukum yang selanjutnya dokumen hukum tersebut dianalisis secara hukum yang akan menghasilkan literasi hukum untuk perkara yang sedang dimohonkan.
Heru menyampaikan transformasi digital dalam hukum acara pengujian undang-undang pada MK merupakan sebuah keniscayaan yang digagas untuk menguatkan dukungan pada fase penting dalam penanganan perkara, yakni ketika Hakim Konstitusi merumuskan dan menyusun draft putusan setelah mendapatkan informasi yang cukup melalui gelaran persidangan yang terbuka untuk umum. Transformasi Digital Dalam Hukum Acara Pengujian Undang Undang Pada Mahkamah Konstitusi dalam fase ini penting dilakukan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan fully supported substantive pada proses penciptaan putusan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.
Sementara I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani yang merupakan Guru Besar Hukum Administrasi Negara mengatakan melalui E-Court dan E-government membuka ruang revitalisasi seluruh sistem dalam bernegara dan kaitannya dengan tugas negara dan pemerintah dalam memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat melalui berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan tentunya sesuai dengan AAUPB.
Sedangkan Edmon Makarim menjelaskan paradigma e-justice dan transformasi e-Court tdk dpt dilepaskan dari paradigma keautentikan secara elektronik tidak hanya sekedar ketersediaan data saja melainkan juga sistem keautentikan lintas sektor. Menurutnya, semua komunikasi dan pemberkasan harus jelas rantai keautentikannya dan diperlakukan sebagaimana layaknya arsip negara untuk fungsi pembuktian & pembelajaran hukum di belakang hari. Sistem arsip perkara secara elektronik harus didukung oleh kejelasan tata-naskah dinas secara elektronik dan kebijakan IT di instansi yang bersangkutan.
Menurutnya, alat bukti yang sah tetap harus dilihat reliabilitas sistem keamanannya, yang secara teknis akan menentukan sejauhmana kekuatan pembuktiannya. Bobot pembuktikan ditentukan oleh bagaimana penerapan e-IDAS (e-identitification and authentication system), sehingga sepanjang IE/DE berikut sistem Elektroniknya teraman/terjaga validitasnya dengan baik, maka otomatis tidak dapat disangkal mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan mengikat.
Ia juga menegaskan, perlu reformasi hukum nasional untuk mengkonsistensikan aturan ttg Keautentikan, khususnya terhadap identitas dan dokumen public guna menghadapi Law 2030. Keautentikan, baik secara teknis maupun hukum terhadap dokumen elektronik di Indonesia merujuk pada pasal 5 dan 6 UU-ITE, selayaknya ditunjang dengan Sertifikat Elektronik sesuai dengan PP-PSTE. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.