JAKARTA, HUMAS MKRI – Forum Mahasiswa Hukum Administrasi Negara (Formahan) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH Unhas) mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (9/8/2023). Dalam kesempatan itu, Asisten Ahli Hakim Konstitusi, Mohammad Mahrus Ali memberikan materi mengenai perkembangan model putusan MK dan demokrasi konstitusional.
Mahrus Ali mengatakan, MK dalam perkembangannya tidak hanya mengeluarkan putusan permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, ataupun permohonan ditolak. Tetapi MK juga mengeluarkan putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), serta penundaan keberlakuan putusan.
Konstitusional Bersyarat
Mahrus Ali menjelaskan, gagasan konstitusional bersyarat muncul saat permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Contoh lain putusan konstitusional bersyarat terdapat pada Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 pada 1 Juli 2008 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Konklusi Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 tersebut menyatakan, Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dinyatakan “konstitusional bersyarat”, maka pasal-pasal tersebut harus dibaca/ditafsirkan sepanjang memasukkan syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD. Mahrus Ali mengatakan, norma tersebut tidak dibatalkan, melainkan MK memberikan penafsiran agar pelaksanaan UU tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Normanya tidak dibatalkan, tetapi kemudian oleh MK diberikan penafsiran, diberikan syarat-syarat tertentu, agar dalam pelaksanaan perundang-undangan itu tidak bertentangan dengan konstitusi,” jelas Mahrus Ali.
Inkonstitusional Bersyarat
Inkonstitusional bersyarat adalah kebalikan dari konstitusional bersyarat. Inkonstitusional bersyarat berarti pasal yang dimohonkan diuji dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan MK tidak dipenuhi.
“Pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK,” lanjut Mahrus Ali.
Selain itu, paparnya, putusan inkonstitusional bersyarat juga terdapat pada perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Hal ini menjadi yang pertama kalinya untuk inkonstitusional bersyarat berlaku pada pengujian formiil.
MK dalam amar putusannya menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan”. MK juga menyatakan, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. Selain itu, memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Penundaan Keberlakuan Putusan
Berikutnya Mahrus Ali menyebutkan putusan berupa penundaan keberlakuan putusan. Hal yang perlu diperhatikan terkait dengan amar putusan MK yang menunda keberlakuan suatu UU adalah adanya tenggang waktu konstitusional yang mensyaratkan adanya penundaan dan prinsip kesesuaian dengan UUD 1945 maupun UU yang lain (conformity).
Contoh putusan yang merupakan penundaan keberlakuan putusan terdapat pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-I/2006 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Mahkamah memberikan jangka waktu paling lama tiga tahun untuk menyelaraskan UU KPK khususnya yang berkaitan dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) agar dibentuk UU tersendiri.
Mahkamah memberikan ultimatum jika dalam jangka waktu tiga tahun sejak diputus MK pembentuk UU tidak memenuhinya, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat lagi. Pasal yang mengamanatkan adanya pembentukan pengadilan tipikor itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga seluruh penanganan perkara tipikor menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
“Tetapi untungnya sebelum tiga tahun, UU Tipikor terbit. Kalau sampai tiga tahun tidak ada UU Tipikor mungkin sampai sekarang tidak ada pengadilan tipikor. Karena MK menyatakan ini harus ada UU sendiri, tidak bisa tipikor itu menginduk ke UU KPK,” tutur Mahrus Ali.
Kunjungan Forum Mahasiswa Hukum Administrasi Negara FH Universitas Hasanuddin itu diikuti sekitar 19 mahasiswa. Mereka didampingi Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Romi Librayanto.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.