JAKARTA, HUMAS MKRI – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) memiliki pendapat berbeda terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Perludem menganggap permohonan uji materiil pasal mengenai batas usia 40 tahun capres-cawapres yang dimohonkan dalam tiga perkara tersebut bukan terkait masalah konstitusionalitas norma. Sedangkan Partai Gerindra mendukung para Pemohon dengan menilai Pasal 169 huruf q UU Pemilu tidak mengakomodir partisipasi generasi muda.
Hal ini disampaikan Kahfi Adlan Hafiz dari Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem) dan Raka Gani Pissani dari Partai Gerindra yang hadir sebagai Pihak Terkait dalam sidang pengujian yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (8/8/2023). Sidang keempat ini digelar untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI/Pemohon I) dan sejumlah perseorangan warga negara Indonesia, yakni Anthony Winza Probowo (Pemohon II), Danik Eka Rahmaningtyas (Pemohon III), Dedek Prayudi (Pemohon IV), dan Mikhail Gorbachev (Pemohon V); Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda) yang diwakili Ahmad Ridha Sabana (Ketua umum Pimpinan Pusat Partai Garuda) dan Yohanna Murtika (Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Garuda); dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh sejumlah kepala daerah yakni Erman Safar (Wali Kota Bukittinggi Periode 2021-2024), Pandu Kesuma Dewangsa (Wakil Bupati Lampung Selatan Periode 2021-2026), Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur Periode 2019-2024), Ahmad Muhdlor (Bupati Sidoarjo Periode 2021-2026), dan Muhammad Albarraa (Wakil Bupati Mojokerto Periode 2021-2026).
Bukan Konstitusionalitas Norma
Terkait dalil para Pemohon yang menyebut batas usia dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bersifat diskriminatif, Kahfi mewakili Perludem membantahnya. Menurutnya, dalil para Pemohon tersebut justru mengangkat isu diskriminasi terhadap umur atau ageism. Padahal, lanjut Kahfi, menurut WHO, ageism dilihat sebagai diskriminasi, stereotype, dan prasangka terhadap seseorang atau satu kelompok berdasarkan usia. Akan tetapi, dalam permohonannya, para Pemohon lebih banyak menjelaskan bahwa ada temuan-temuan para ahli yang melihat usia tertentu sebagai usia yang dapat menghadirkan kepemimpinan yang ideal, berfokus pada pengembangan kelebihan, komitmen terhadap pembangunan komunitas, dan kepemimpinan yang antikorupsi. Para Pemohon juga meletakkan usia 35 tahun sebagai batas minimal syarat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
“Bila mengatakan batas usia 40 tahun adalah diskriminasi usia, maka menurunkannya menjadi 35 tahun juga merupakan bentuk ageism atau diskriminasi usia bila menggunakan logika yang sama. Sehingga oleh karenanya, isu yang dibawa Pemohon bukanlah isu diskriminasi usia, melainkan isu tentang usia mana yang ideal untuk kemudian menjadi capres atau cawapres. Dan di dalam permohonan ini, kita tidak melihat ada isu diskriminasi usia, sehingga tidak terdapat isu konstitusionalitas dalam permohonan a quo,” ujar Kahfi di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Kemudian Kahfi pun menyebutkan adanya komponen open legal policy dan telah adanya sikap Mahkamah tentang syarat usia pejabat publik. Pihak Terkait melihat ini dari beberapa putusan MK, di antaranya Putusan MK Nomor 15/PUU-V/2007, Putusan MK Nomor 37/PUU-VIII/2010, dan Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011.
“Pada Putusan MK Nomor 15/PUU-V/2007 yang mengujikan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945, MK memberikan penilaian UUD 1945 tidak menentukan batas minimun tertentu yang berlaku umum untuk aktivitas pemerintahan. Artinya UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Oleh UUD 1945, hal ini dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum pembentuk undang-undang,” terang Kahfi.
Lebih lanjut Kahfi juga mengungkapkan permohonan yang didalikan para Pemohon ini berakibat langsung maupun tidak langsung atau setidaknya potensial bagi ketidakpastian kerangka hukum penyelenggaraan pemilu. Utamanya, menyoal batas minimum pencalonan presiden dan wakil presiden yang minta diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun yang diajukan mendekati masa pemilihan.
“Pada itu badan keahlian DPR dan Komisi 2 menyusun rancangan undang-undang pemilu, tetapi dibatalkan dan ditarik dari prolegnas prioritas. Akibatnya norma yang digunakan untuk penyelenggaraan pemilu adalah UU Nomor 7 Tahun 2017. Sangat disayangkan, ketika di tengah tahapan Pemilu 2024 justru muncul keinginan implisit untuk mengubah banyak hal, mulai dari sistem pemilu dan sekarang mengenai syarat usia capres yang akan menunculkan ketidakpastian bagi kerangka hukum pemilu,” sampai Kahfi.
Akomodir Generasi Muda
Sementara itu, Partai Gerindra yang diwakili oleh Raka Gani Pissani memiliki pendapat berbeda dari keterangan yang disampaikan Perludem. Partai Gerindra mendukung agar Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon. Sebagai Pihak Terkait, Partai Gerindra melihat perkembangan situasi demografis dan perpolitikan Indonesia saat ini. Situasi saat ini, lanjut Raka, menunjukkan adanya peningkatan signifikan dari sisi usia pemilih dalam pemilu yang akan datang dan pemilu setelahnya dengan didominasi oleh peran dan keterlibatan generasi muda. Oleh sebab itu, sambungnya, tidak dapat dipungkiri bahwa peran serta dan keterlibatan generasi muda menjadi satu keniscayaan dan kebutuhan untuk mengikuti perkembangan zaman serta mempersiapkan generasi muda sebagai generasi penerus yang akan mengurus danmenjalankan roda pemerintahan.
“Satu di antaranya dengan mengakomodir generasi muda untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden untuk maju dalam satu pemilihan umum,” sebut Raka yang hadir langsung di Ruang Sidang Pleno MK.
Raka menambahkan, pengalaman sebagai penyelenggara negara seharusnya menjadi pengecualian persyaratan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden, walaupun usianya di bawah 40 tahun. Ia menyebut hal ini lebih bermanfaat bagi kepentingan luas yangmengakomodir aspirasi rakyat agar generasi muda dapat menjadi calon presiden atau calon wakil presiden dalam setiap pemilihan umum.
Baca juga:
PSI Minta Batas Usia Minimal Capres-Cawapres 35 Tahun
PSI Perkuat Dalil Batas Usia Minimal Capres-Cawapres
DPR Serahkan Kepada MK Soal Syarat Usia Capres-Cawapres
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI/Pemohon I) dan sejumlah perseorangan warga negara Indonesia, yakni Anthony Winza Probowo (Pemohon II), Danik Eka Rahmaningtyas (Pemohon III), Dedek Prayudi (Pemohon IV), dan Mikhail Gorbachev (Pemohon V). Pasal 169 huruf q UU Pemilu berbunyi, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden. Adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.” Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (3/4/2023), para Pemohon melalui Francine Widjojo menyatakan batas minimal syarat umur untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada norma tersebut dinyatakan jelas yakni 40 tahun. Sementara para Pemohon saat ini berusia 35 tahun, sehingga setidak-tidaknya batas usia minimal usia calon presiden dan wakil presiden dapat diatur 35 tahun dengan asumsi pemimpin-pemimpin muda tersebut telah memiliki bekal pengalaman untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden. Sehingga norma ini menurut para Pemohon bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas karena menimbulkan bibit-bibit diskriminasi sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Untuk itu para Pemohon meminta Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun.”
Sementara itu, Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda) yang diwakili Ahmad Ridha Sabana (Ketua umum Pimpinan Pusat Partai Garuda) dan Yohanna Murtika (Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Garuda) tercatat menjadi Pemohon Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023. Pemohon mempermasalahkan aturan mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam sidang pendahuluan, Partai Garuda menyebutkan sebagai peserta Pemilu 2024, Pemohon hendak mencalonkan kepala daerah yang berusia di bawah 40 tahun untuk menjadi calon wakil presiden. Pasalnya, banyak kepala daerah yang berusia di bawah 40 tahun yang memiliki potensi dan pengalaman dalam pemerintahan. Sementara itu, di sisi lain, banyak pula anggota dewan yang menjabat pada 2019—2024 yang berusia di bawah 40 tahun. Sebut saja, Hillary Brigitta Lasut berusia 23 tahun dari Partai Gerindra, Andrian Jopie Paruntu yang berusia 25 tahun dari Partai Golkar. Membandingkan dengan negara lain, Pemhon menilai tidak sedikit jabatan presiden atau wakil presiden yang dijabat warga negara berusia di bawah 40 tahun, seperti Gabriel Boric Presiden Chile yang berusia 35 tahun atau Mahamat Deby Presiden Chad yang berusia 38 tahun. Sebagai perbandingan pula, pada penerapan sistem pemerintahan berdasarkan konstitusi, Amerika Serikat mengatur syarat calon presiden setidaknya berusia 35 tahun. Oleh karena itu, Pemohon berpotensi dirugikan dengan keberlakuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mengatur syarat calon wakil presiden. Sebab ada banyak calon potensial berusia di bawah 40 tahun yang dapat memajukan bangsa dan negara serta memiliki pengalaman dalam pemerintahan. Karenanya, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Adapun perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 dimohonkan oleh Erman Safar (Wali Kota Bukittinggi Periode 2021-2024), Pandu Kesuma Dewangsa (Wakil Bupati Lampung Selatan Periode 2021-2026), Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur Periode 2019-2024), Ahmad Muhdlor (Bupati Sidoarjo Periode 2021-2026), dan Muhammad Albarraa (Wakil Bupati Mojokerto Periode 2021-2026). Para pemimpin di daerah yang masih berusia muda tersebut mengujikan persyaratan usia untuk menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden. Persyaratan ini termaktub dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang selengkapnya menyatakan, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (31/5/2023), kuasa hukum para Pemohon, Munathsir Mustaman menjelaskan, para Pemohon telah kehilangan hak konstitusional untuk maju dalam bursa pencalonan Wakil Presiden yang dijamin dan dilindungi khususnya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Padahal para Pemohon memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara yaitu sebagai kepala daerah. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon dalam petitum memohon agar MK menyatakan frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara Negara.” (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha