BATAM, HUMAS MKRI - Berbicara tentang Pemilu Serentak Tahun 2024, tidak dapat dilepaskan dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020 lalu dan ditegaskan lagi dalam Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021, yang mempertimbangkan alternatif desain pemilu serentak. Untuk Pemilu Serentak Tahun 2024 menggunakan desain keserentakan yang telah ditentukan dalam UU Pemilu dan UU Pilkada yang dilaksanakan secara serentak dalam dua tahap, yaitu pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan Anggota DPRD yang diagendakan pada 14 Februari 2024. Kemudian, keserentakan berikutnya, yakni pilkada serentak secara nasional akan dilaksanakan pada 27 November 2024.
Hal tersebut disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang hadir secara langsung sebagai narasumber dalam seminar nasional yang dilaksanakan Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Batam (Uniba) pada Jumat (4/8/2023) di Batam, Kepulauan Riau. Kegiatan bertema “Pemilu Serentak 2024 dan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu oleh Mahkamah Konstutusi” ini turut dihadiri pula oleh Dekan Fakultas Hukum Uniba Fadlan dan Rektor Uniba Yuliansyah, serta Pengawas Yayasan Griya Husada Batam Indrayani.
“Pilihan tanggal-tanggal tersebut sudah baku dan apabila digeser maka akan menggeser sistem. Mudah-mudahan tidak mengalami perubahan karena risikonya besar, mulai dari tahapan hingga penetapan, sehingga ketika bergeser akan repot sekali urusannya. Ini sudah ada ketetapannya dan oleh MK juga sudah ada penghitungannya secara serentak,” jelas Enny dalam kegiatan yang juga dihadiri oleh narasumber lainnya, yakni Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Riau Lagat Parroha Patar Siadari.
Lebih lanjut di hadapan civitas akademika Uniba, Enny mengatakan apabila mendalami ketentuan pelaksanaan pemilihan, maka dapat dilihat pembagian kewenangan dari instansi-instansi yang melakukan penyelesaian pelanggaran yang dihadapi para peserta pemilu. Sebut saja, untuk pelanggaran administrasi dan proses dalam pemilu dilaksanakan oleh KPU dan Bawaslu, berikutnya apabila ditemui adanya sengketa tata usaha negara pemilu, maka PTUN menjadi tempat penyelesaian perkaranya. Adapula pelanggaran tindak pidana pemilu dapat diselesaikan di penegakan hukum terpadu (Gakkumdu), sedangkan jika mendapati adanya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, maka Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu adalah pihak yang dapat menjadi penengah penyelesaian masalah tersebut. Barulah apabila peserta pemilu menghadapai persoalan perselisihan hasil pemilu/pilkada, dipersilakan untuk mengajukan permohonan ke MK.
“Jadi, ke MK itu datang untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan yang telah ditetapkan oleh KPU secara nasional, yang di dalamnya ada angka dan dipersoalkan oleh peserta pemilu. Misalnya karena ada kecurangan pemilihan yang terbukti, pengawasan yang tidak berjalan dengan baik, pengadilan menyelesaikan proses yang dilalui, lalu ke lembaga mana lagi untuk menyelesaikan hak konstitusional? Maka ke mk hal itu bisa dibawa. Oleh karena itu, MK dengan dalil yang diadukan, jika ada persoalan yang mempengaruhi hasil, tidak akan segan-segan memutus mendiskualifikasi calon, memerintahkan untuk melakukan penghitungan ulang surat suara, dan bahkan dilaksanakannya kembali pemungutan ulang dan itu sudah dilakukan mk berkali-kali. Bukan dimudahkan MK, tetapi hal ini memang harus diselesaikan MK sebagai pengawal konstitusi,” jelas Enny dalam acara yang dimoderatori oleh Cristiani Prasetiasari selaku Ketua Prodi S1 Ilmu Hukum Uniba dari Gedung Rumengan Hall Uniba.
Berikutnya secara runut dan jelas, Enny menjabarkan beberapa hal terkait dengan dasar hukum beracara PHPU; waktu pengajuan permohonan dan penyelesaian sengketa; tahap pengajuan permohonan; persidangan perkara; amar putusan MK; dan akibat hukum putusan tersebut, di antaranya memutuskan rekapitulasi suara yang benar, memerintahkan pelaksanaan penghitungan suara ulang, memerintahkan pemungutan suara ulang, dan mendiskualifikasi calon. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.