JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan atas pengujian tiga undang-undang sekaligus, yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang kedelapan untuk Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh M. Yasin Djamaludin ini digelar pada Selasa (1/8/2023) di Ruang Sidang Pleno dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman bersama dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra dan enam hakim konstitusi lainnya.
Agenda sidang adalah mendengar keterangan saksi Pemohon. Johannes Rettob selaku saksi Pemohon, menceritakan mengenai proses hukum yang dihadapinya terkait dengan pengujian UU Tipikor. Saat menjalani proses penyelidikan dari Kejaksaan Negeri Mimika, Johannes hanya menghadapi sekali persidangan saja. Terhadap dokumen yang dibutuhkan dan belum diserahkan pihaknya, dalam jangka waktu satu bulan perkaranya telah naik menjadi proses penyidikan. Kemudian saat dilakukan pemeriksaan sebanyak dua kali dan kali keduanya pun ia telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Saya ditetapkan tersangka pada jam 10.00 malam dan saya menandatangani BAP lalu langsung jadi tersangka dan pada siang harinya, beberapa kesaksian yang dinyatakan rahasia justru telah beredar di media sosial. Saat ditetapkan sebagai tersangka itu juga saya diperiksa dan oleh Penyidik ditanya apakah saudara ingin menghadirkan saksi yang meringankan. Kami pun mengiyakan. Namun pada 27 Februari 2023 dan menunggu dipanggilnya saksi-saksi, ternyata pada tanggal itu juga kami menerima surat untuk menghadiri penyerahan berkas Tahap 2. Kami pun mengajukan keberatan karena saksi-saksi kami belum diperiksa. Atas hal ini, saya merasa hak asasi saya sebagai tersangka tidak dijalankan penydidik dengan baik. Padahal masih dalam proses praperadilan,” kisah Johannes yang menghadiri persidangan secara daring.
Selanjutnya ia pun menceritakan kembali bahwa atas perkara hukum yang dihadapinya ini, pihaknya pun telah menyurati Kejagung untuk melaporkan dan mengeluhkan perlindungan hukum terhadap dirinya. Dalam keadaan yang ada ini, sambung Johannes, pihaknya tetap patuh mengikuti proses persidangan dan praperadilan yang telah digugurkan tersebut. Dalam persidangan, Majelis Tipikor 1A Jayapura akhirnya meneriksa keputusan sela pihaknya dan pokok perkara kemudian dinyatakan tidak bisa disidangkan.
Kemudian Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan berkas kembali ke pengadiilan negeri, dan langsung Kejati Papua membuat surat kepada Kemendagri dan Gubernur Papua Tengah untuk memberhentikan Johannes selaku Plt. Bupati Mimika.
Pelimpahan Perkara
Saksi berikutnya Iwan K. Niode menyampaikan keterangannya sebagai bagian dari Tim Penasihat Hukum atas perkara yang dihadapi Johannes Rettob di Pengadilan Negeri Jayapura. Dalam kesaksiannya, Iwan menyebutkan saat masih dalam proses penyidikan dan Johannes ditetapkan sebagai tersangka, dirinya diminta untuk mempelajari berkas BAP yang di dalam berkas tersebut tertera permintaan tersangka untuk menghadirkan Saksi dan Ahli untuk membantu meringankan posisi kasusnya. Akan tetapi, sambung Iwan, pada saat proses perkara dilimpahkan di pengadilan negeri, Ahli dan Saksi tersebut tidak kunjung diperiksa. Atas hal ini, pihaknya pun berupaya untuk mengajukan surat ke Kejati soal tindak lanjut atas permohonan ini. Namun pihaknya dalam kondisi bersamaan juga harus menghadapi gugatan praperadilan.
“Tapi saat praperadilan berjalan, berkas perkara malah langsung dilimpahkan untuk menggugurkan praperadilan yang diajukan tadinya itu. Pertanyaan kami, dalam kelaziman dalam perkara pidana, jika sudah P21 biasanya ada penyerahan tersangka dari penyidik ke penuntut umum. Ini yang kami tidak lihat sama sekali. Berkas langsung dilimpahkan. Menurut kami ini bentuk kesewenangan penyidik, padahal ada hak untuk meminta agar dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli yang dapat meringankan itu. Kenapa yang terjadi malah pelimpahan berkas tanpa ada penyerahan dari aparat penyidik kepada penuntun umum, sehingga kami mempertanyakan dan proses pengadilan atas perkara Tipikor ini sampai saat ini bergulir di Pengadilan Kelas 1A Jayapura,” cerita Iwan yang juga hadir secara daring.
Baca juga:
Advokat Persoalkan Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Advokat Sempurnakan Permohonan Soal Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Pandangan DPR Soal Kewenangan Kejaksaan Lakukan Penyidikan
Pemerintah: UUD 1945 Tidak Melarang Fungsi Ganda Kewenangan Kejaksaan
Diferensiasi Fungsional Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Penyidik Polri, Kejaksaan, dan KPK Bersinergi dalam Pemberantasan Korupsi
Tumpang Tindih Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang pengacara bernama M. Yasin Djamaludin. Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (29/3/2023) lalu, Pemohon mempersoalkan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower, karena Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.
Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Hal ini karena prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.
Dalam kasus konkret yang dialami Pemohon pada 21 Februari 2023, jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. Lalu pada 23 Februari 2023, jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Prapenuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang. Namun permintaan tersebut diabaikan oleh penyidik dan Jaksa Prapenuntutan.
Untuk itu, Pemohon dalam Petitum permohonan meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan atau kejaksaan’ UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.