JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan perkara pengujian Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945, pada Senin (31/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam amar Putusan 64/PUU-XXI/2023 Mahkamah menyatakan tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh Marion yang berprofesi sebagai advokat.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK mengatakan, Pemohon telah memperbaiki permohonannya sebagaimana diterima Mahkamah pada tanggal 12 Juli 2023 dan tanggal 17 Juli 2023, yang pada pokoknya substansi kedua permohonan a quo adalah sama, serta telah diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 24 Juli 2023. Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum, Alasan-Alasan Permohonan, dan Petitum.
Menurut MK, meskipun format perbaikan permohonan Pemohon telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021, namun pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Pasal 21 UU 31/1999. Uraian pada bagian kedudukan hukum hanya menjelaskan mengenai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diwakili oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Selain itu, Pemohon belum menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas berlakunya UU 31/1999 yang dimohonkan pengujian dan yang dianggap merugikan atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia selaku Advokat yang berkaitan dengan pasal a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon.
Selain itu, Daniel melanjutkan, pada bagian alasan-alasan permohonan (posita), Pemohon sama sekali tidak menguraikan argumentasi mengenai pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Dalam hal ini, Pemohon lebih fokus menguraikan masalah konkret yang dialami oleh saudara Dr. Stefanus Roy Rening, S.H., M.H. selaku Advokat yang ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan dalam perkara korupsi dengan tersangka atau terdakwa saudara Lukas Enembe (Gubernur Provinsi Papua Non Aktif), sehingga menurut Mahkamah, posita yang demikian tidak ada relevansinya bagi Mahkamah untuk menilainya.
Selanjutnya terhadap petitum Pemohon, Mahkamah berpendapat rumusan petitum Pemohon tidak lazim. “Karena, di satu sisi Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 21 UU 31/1999 bertentangan dengan UUD 1945 sementara di sisi lain, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 21 UU 31/1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Dalam batas penalaran yang wajar, rumusan kedua petitum tersebut saling bertentangan satu sama lainnya dan Mahkamah tidak mungkin mengabulkannya secara bersamaan. Petitum yang demikian hanya dapat dibenarkan sepanjang satu sama lainnya dirumuskan secara alternatif,” kata Daniel.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Penetapan Advokat sebagai Tersangka Perintangan Penyidikan
Pemohon Uji Penetapan Advokat sebagai Tersangka Perintangan Penyidikan Perkuat Alasan Konstitusionalitas Norma
Sebagai tambahan informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Permohonan Pengujian Materiil Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap UUD 1945, pada Rabu (5/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara Nomor 64/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Marion yang berprofesi sebagai Advokat. Agenda sidang adalah pemeriksaan pendahuluan.
Pasal 21 UU Tipikor menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Marion yang hadir di persidangan didampingi sang istri, mengatakan Pasal 21 UU Tipikor telah merugikan hak konstitusionalnya, baik sebagai warga negara Indonesia secara individual maupun sebagai advokat yang berbadan hukum, termasuk hak konstitusional Stefanus Roy Rening. Marion menjelaskan, Stefanus adalah seorang Advokat resmi yang kini ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tipikor, sehingga penerapan Pasal 21 tersebut tidak bersesuaian dengan Pasal 16 Jo Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).
Pasal 16 UU Advokat menyatakan, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara Perdata maupun Pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam Sidang Pengadilan”.
Menurut Marion, tindakan penyidik aparat penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (APH KPK) yang menetapkan advokat sebagai tersangka tersebut merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dalam hal ini advokat. Tindakan tersebut secara jelas dan tegas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan dasar hukum bagi advokat di Indonesia.
Lebih lanjut Marion menjelaskan, penerapan Pasal 21 UU Tipikor oleh Penyidik APH KPK kepada Stefanus Roy Rening merupakan tindakan penyidik APH KPK yang tidak tepat dan tidak Profesional, mengingat Stefanus Roy Rening tersebut adalah advokat atau penasihat hukum resmi atau memiliki legal standing yang telah memenuhi persyaratan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Menurutnya, advokat juga mempunyai posisi atau kedudukan legal sebagai aparat penegak hukum yang setara dengan posisi atau kedudukan legal penyidik APH KPK serta APH lainnya seperti, Penyidik Polri, Jaksa, Hakim/Pengadilan dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.