JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat diterima terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 70/PUU-XXI/2023 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (31/7/2023). Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI); Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI); dan Arkaan Wahyu Re A yang merupakan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta (para Pemohon) mendalilkan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum Mahkamah bahwa undang-undang yang dimohonkan pengujiannya adalah UU Kejaksaan, sedangkan petitum yang dimohonkan oleh para Pemohon berupa kata “korupsi” pada Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang menurutnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "korupsi termasuk kolusi dan nepotisme”.
Dalam pandangan Mahkamah, lanjut Suhartoyo, kata “korupsi” yang dimohonkan pada Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tersebut menjadi bagian dari judul Undang-Undang yang pada pokoknya menyatakan “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU 20/2001) jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002)”.
“Artinya, undang-undang yang disebut dalam penjelasan tersebut hanya merupakan contoh kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Oleh karena itu, kolusi dan nepotisme yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitumnya menjadi substansi yang tidak bersesuaian dengan judul dan batasan cakupan materi tindak pidana yang diatur dalam UU 31/1999 juncto UU 20/2001 dan UU 30/2002. Terlebih, dalam positanya para Pemohon tidak menerangkan terdapat ketentuan yang mengatur tentang unsur-unsur pidana dari kata kolusi dan nepotisme,” sebut Suhartoyo.
Baca juga:
Memperluas Kewenangan Jaksa untuk Menyelidiki Perkara Kolusi dan Nepotisme
Sejumlah Pemohon Uji Kewenangan Jaksa Pertegas Alasan Permohonan
Ketidakjelasan Undang-Undang
Berikutnya Suhartoyo membacakan bahwa petitum yang dimohonkan para Pemohon yakni rumusan petitum yang tidak lazim karena nomenklatur dalam nama undang-undang pada prinsipnya harus menggambarkan isi dari undang-undangnya. Oleh karena itu, Mahkamah menilai pun permohonan dikabulkan maka nama UU Tipikor dalam batas penalaran yang wajar menjadi undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Demikian juga dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 menjadi tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Mahkamah pun berpendapat bahwa isi dari kedua undang-undang tersebut sama sekali tidak membahas mengenai substansi tindak pidana kolusi dan nepotisme. Sementara dengan menambahkan frasa “kolusi dan nepotisme” dalam nama atau judul UU 31/1999 dan UU 30/2002, dapat menyebabkan ketidakjelasan undang-undang a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah permintaan para Pemohon dalam petitum tersebut tidak bersesuaian dengan posita yang didalilkan, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak jelas atau kabur.
Pada Sidang Pendahuluan yang digelar Selasa (11/7/2023) lalu, para Pemohon menyebutkan dirugikan dengan berlakunya ketentuan ini jika Jaksa hanya menyidik perkara korupsi. Sebab, menurut para Pemohon, semestinya jaksa juga diberi wewenang untuk menyidik perkara kolusi dan nepotisme, sehingga semakin terwujud pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sehingga para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Kejaksaan mempunyai tugas dan berwenang melakukan penyidikan perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme’. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim